BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Didalam
sistem pergaulan hidup, secara prinsip manusia itu diciptakan bebas dan
sederajat. Akan tetapi dengan kebebasan tersebut manusia tidak bisa berbuat
sekehendak hatinya terhadap manusia lainnya, karena ada batasan – batasan yang
tidak boleh dilanggarnya berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia. Pada
dasarnya masing – masing anggota masyarakat sudah tentu mempunyai kepentingan
yang kadang – kadang sama dan sering pula berbeda. Perbedaan kepentingan ini
selanjutnya dapat menimbulkan kekacauan dalam masyarakat apabila tidak ada
aturan yang dapat menyeimbangkannya. Demi tertib dan teraturnya kelompok
masyarakat diperlukan adanya aturan, mulanya disebut kaidah. Jadi dapatlah
dikatakan bahwa apa yang disebut kaidah adalah patokan atau ukuran ataupun
pedoman untuk berkeprikelakuan atau bersikap tindak dalam hidup.
Masyarakat
dalam pertumbuhannya selalu berkembang, dimulai dari keluarga sebagai
masyarakat yang paling kecil atau masyarakat sederhana kemudian berkembang
menjadi semakin kompleks atau masyarakat modern. Perkembangan masyarakat tadi
pasti dibarengi dengan timbulnya hukum untuk mengatur dan mempertahankan sistem
pergaulan hidup anggota – anggotanya. Keberadaan hukum didalamnya adalah sebagai
peraturan yang bersifat umum dimana seseorang atau kelompok secara keseluruhan
ditentukan batas – batas hak dan kewajibannya. Mengacu kepada hak dan
kewajiban, maka aturan yang paling tepat adalah apa yang dinamakan hukum.
Demikian dapat diketahui bahwa hukum dapat mengatur segala kepentingan manusia
mulai dari jabang bayi yang masih dalam kandungan ibunya sampai seorang ibu itu
meninggal dunia. Salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat penyelesaian
sengketa atau konflik, disamping fungsi yang lain sebagai alat pengendalian
sosial dan alat rekayasa sosial. Pembicaraan tentang hukum barulah dimulai jika
terjadi suatu konflik antara dua pihak yang kemudian diselesaikan dengan
bantuan pihak ketiga. Dalam hal ini munculnya hukum berkaitan dengan suatu bentuk
penyelesaian konflik yang bersifat netral dan tidak memihak. Pelaksanaan hukum
di Indonesia sering dilihat dalam kacamata yang berbeda oleh masyarakat. Hukum
sebagai dewa penolong bagi mereka yang diuntungkan, dan hukum sebagai hantu
bagi mereka yang dirugikan. Hukum yang seharusnya bersifat netral bagi setiap
pencari keadilan atau bagi setiap pihak yang sedang mengalami konflik
seringkali bersifat diskriminatif, memihak kepada yang kuat dan berkuasa.
Adanya ketimpangan pelaksanaan hukum tersebut maka timbullah pemasalahan hukum
di Indonesia. Permasalahan hukum di Indonesia terjadi karena beberapa hal, baik
dari system peradilannya, perangkat hukumnya, inkonsisten penegakan hukum,
intervensi kekuasaan, maupun perlindungan hukum. Diantara banyak permasalahan
tersebut, satu hal yang sering dilihat dan dirasakan oleh masyarakat awam
adalah inkonsistensi penegakan hukum oleh aparat. Inkonsistensi penegakan hukum
ini kadang melibatkan masyarakat itu sendiri , keluarga maupun lingkungan
terdekatnya yang lain. Namun inkonsistensi penegakan hukum ini sering pula kita
temui dalam media elektronik maupun cetak yang menyangkut tokoh – tokoh
masyarakat seperti, pejabat, orang kaya dan lain sebagainya. Akibat yang
ditimbulkan dari tidak berjalannya penegakan hukum dengan baik dan efektif atau
yang disebut inkonsistensi penegakan hukum adalah kerusakan dan kehancuran
diberbagai bidang (politik, ekonomi, sosial dan budaya). Selain itu buruknya
penegakan hukum juga akan menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat
terhadap hukum semakin menipis dari hari ke hari. Akibatnya, masyarakat akan
mencari keadilan dengan cara mereka sendiri.
Suburnya
berbagai tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) di masyarakat adalah salah
satu wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum yang ada. Merangkum
fenomena diatas, dimana penegakan hukum di Indonesia belum berjalan dengan baik
dan efektif tentunya menjadi pemasalahan yang sangat serius, dimana pada
pembahasan berikutnya akan lebih dijelaskan faktor apa saja yang menyebabkan
inkonsistensi penegakan hukum, akibat yang ditimbulkan dari inkonsistensi
penegakan hukum, serta upaya yang dilakukan untuk mengatasi atau menekan
seminimal mungkin terjadinya inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia.
B. Tujuan Penulisan
Adapun
alasan yang membuat penulis mengangkat inkonsistensi penegakan hukum di
Indonesia sebagai judul makalah karena hukum dimata masyarakat saat ini
mengalami krisis kredibilitas. Dimana terungkapnya banyak kasus kecurangan
dalam penegakan hukum di Indonesia mengarahkan masyarakat berpikir kepada bahwa
hukum hanya untuk mereka yang memiliki uang, kekuasaan atau jabatan maupun
kekuatan politik sehingga dengan itu mereka bisa membeli hukum. Karena hal
tersebut bisa mengurangi bahkan menghilangkan terciptanya supremasi hukum di
Indonesia. Untuk itu dalam pembuatan makalah ini akan membahas masalah
inkosistensi penegakan hukum di Indonesia, faktor – faktor yang mempengaruhinya
serta upaya untuk melakukan perubahan menuju terciptanya supremasi hukum dalam
rangka mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.
BAB II
PERMASALAHAN
Cita – cita reformasi untuk
mendudukan hukum ditempat tertinggi (supremacy of law) dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara hingga detik ini tak pernah terealisasi. Bahkan dapat
dikatakan hanya tinggal mimpi dan angan – angan. Bila dicermati suramnya wajah hokum
merupakan akibat dari kondisi penegakan hukum (law enforcement) yang dalam
keadaan terhenti dan kalaupun hukum ditegaskan maka penegakannya diskriminatif.
Praktik – praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum seperti, mafia
peradilan, proses peradilan yang diskriminatif, jual beli putusan hakim, bahkan
kolusi polisi, hakim, advokat dan jaksa dalam perekayasaan proses peradilan
merupakan realitas sehari – hari yang dapat ditemukan dalam penegakan hukum di
negeri ini. Pelaksanaan penegakan hukum yang 'kumuh' sepeti itu menjadikan
hukum dinegeri ini seperti yang pernah dideskripsikan oleh seorang filusuf
besar Yunani Plato (427 – 347 SM) yang menyatakan bahwa ''hukum adalah
jaring laba – laba yang hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika
menjerat yang kaya dan kuat''. Sehingga memberikan pertanyaan di benak kita
apa yang terjadi di sektor penegakan hukum? Dan ada apa dengan aparat penegak
hukum?. Diberbagai kasus ditingkat pejabat sampai rakyat semuanya mengacu pada
keberpihakan hukum pada kalangan tertentu saja. Tak jarang hukum di Indonesia
ini hanya untuk kalangan yang berduit, yang tidak mempunyai uang tidak
mempunyai hak atas hukum walaupun dia benar.
Kalau dilihat dari struktur
negara kita, Indonesia adalah negara hukum tapi kenapa banyak pelanggar hukum.
Ini sebuah pertanyaan yang selalu muncul dalam benak kita. Krisis penegakan
hukum telah menjamur di negeri ini. Mungkin ironis sekali jika hal ini
menjadikan negara kita sebagai Negara hukum namun miskin hukum.Bagi mereka yang
mengantongi banyak rupiah, hukum seolah tidak berani menyentuh. Namun bagi
mereka yang miskin, hukum seperti tidak mau berkompromi. Terkuaknya kasus –
kasus besar pelanggaran hukum di tanah air akhir – akhir ini sungguh merisaukan
dan dan mengusik rasa keadilan bagi siapa saja yang waras. Kasus century,
rusaknya perlakuan sistem rumah tahanan, makelar kasus (markus), suap –
menyuap, hingga pembunuhan yang berbau politisi menunjukkan ada yang tidak
beres pada penegakan hukum di Indonesia. Dari sekian banyak kasus itu, mencuat
kasus – kasus korupsi yang sering melatar belakanginya. Padahal kita semua
tahu, hukum adalah salah satu instrumen paling vital dalam membangun sebuah
bangsa menuju peradaban kemanusiaan yang adil. Kecenderungan manusia yang
selalu ingin menang sendiri, egois, dan individualis. Jika tidak ada hukum yang
mengaturnya, maka akan melahirkan penindasan dan perbudakan modern ditengah
masyarakat. Untuk itulah negara kita menciptakan undang – undang. Tapi
sayangnya, undang – undang yang dipakai sebagai hukum belum mampu membersihkan
koruptor – koruptor dilembaga pemerintah. Sampai saat ini masih banyak koruptor
yang begitu asyiknya melenggang dan menertawai negeri yang banyak dihuni oleh
orang – orang miskin ini.
Tercatat, negara ini menempati
peringkat kedua dalam hal korupsi di tingkat Asia dan peringkat keenam
ditingkat dunia. Sebetulnya ada satu persoalan yang sangat krusial dilembaga
hukum kita. Persoalan itu berupa lemahnya integritas para penegak hukum yang
mudah dibeli oleh para mafia hukum dan para koruptor. Semua itu bisa juga
terlihat pada munculnya kasus antara lembaga independen KPK dan Polri tempo
hari. Bagi mereka yang mengantongi banyak rupiah, hukum tentu tidak akan berani
menyentuh, sebaliknya bagi mereka yang miskin dan banyak dibelit persoalan
ekonomi, hukum seperti tidak mau lagi berkompromi sedikit pun. Drs. IGM.
Nurdjana, SH, MH menjelaskan, pertama lemahnya integritas penegakan hokum
korupsi dipengaruhi oleh problematik dalam sistem hukum pidana sebagai hukum
formal dan hukum materiil yang secara substansi hukum pada peraturan perundang
– undangan pidana potensi korupsi. Kedua, secara struktur hukum atau
kelembagaan terdapat overlapping kewenangan dan mengabaikan asas diferensial
fungsional dalam bentuk konflik. Ketiga, adanya disharmoni atau rivalitas
negatif antara Polri, Jaksa dan KPK serta dilema terbentuknya hakim adhoc.
Terakhir, terjadinya kesenjangan dan keterbatasan anggaran sarana dan prasarana
sehingga secara cultural hukum menjadi cara dinamis untuk dimanfaatkan sebagai
alat pemerkaya diri. Persoalan itu yang membuat para koruptor berteriak
kegirangan. Mereka berusaha memanfaatkan kesempatan bagus tersebut sebagai alat
dalam mempertahankan dirinya dari jeratan hukum. Hasilnya, vonis hakim terhadap
koruptor tersebut banyak yang hasil akhirnya bebas.
Selama ini, koruptor yang
tertangkap oleh tangan hukum seperti begitu mudah melepaskan diri. Belum pernah
tersiar kabar seorang koruptor divonis hukuman seumur hidup atau vonis mati.
Karena itu wajar bila korupsi terus meningkat, sebab tidak ada vonis hakim yang
dapat membuat koruptor jera. Penjara bagi mereka bukan lagi suatu ancaman
karena dengan banyak uang, penjara dapat disulap menjadi seperti layaknya hotel
berbintang.
Itulah gambaran penegakan hukum dinegeri ini. Padahal telah jelas, unsur –
unsur korupsi adalah tindakan melawan hukum, menggunakan fasilitas negara untuk
kepentingan pribadi merugikan negara baik secara langsung maupun tidak langsung
dan dilakukan oleh pejabat public atau penyelenggara negara maupun masyarakat.
Hal tersebut menjadi polemik dan mendapatkan perhatian besar dari masyarakat.
Salah satu kecenderungan yang menonjol adalah menguatnya perhatian dan
penilaian publik terhadap suatu proses hukum yang dinilai kurang adil. Karena
itu, dibutuhkan adanya suatu solusi yang bijaksana agar penegakan hukum
dinegeri ini memiliki integritas yang kuat dan profesionalitas yang tinggi. Dan
solusi seperti apakah yang dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat
terhadap hukum?.
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Sistem Hukum
1. Sistem
Sistem adalah suatu kesatuan
susunan, dimana masing – masing unsur yang ada di dalamnya tidak diperhatikan
hakikatnya, tetapi dilihat menurut fungsinya terhadap keseluruhan kesamaan
susunan tersebut.
2. Hukum
Hukum sulit didefinisikan
karena kompleks dan beragamnya sudut pandang yang akan dikaji. Prof.
Van Apeldoorn mengatakan bahwa ”definisi hukum sangat sulit
dibuat karena tidak mungkin untuk mengadakannya yang sesuai dengan kenyataan”.
Karena itu, sebaiknya kita lihat dulu pengertian hukum menurut para ahli hukum
terkemuka berikut ini :
a) Prof.
Mr. E.M. Meyers
Hukum adalah semua aturan yang
mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam
masyarakat, dan menjadi pedoman bagi penguasa negara dalam melaksanakan
tugasnya.
b) Leon
Duguit
Hukum adalah aturan tingkah
laku anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu
diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan
yang pelanggaran terhadapnya akan menimbulkan reaksi bersama terhadap
pelakunya.
c) Drs.
E. Utrecht, S.H
Hukum adalah himpunan peratuan
( perintah dan larangan ) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena
itu harus ditaati oleh masyarakat itu.
d) S.M.
Amin, S.H
Hukum merupakan kumpulan
peraturan yang terdiri dari norma dan sanksi, dengan tujuan mewujudkan
ketertiban dalam pergaulan manusia.
e) J.C.T.
Simorangkir, S.H. dan Woerjono Sastropranoto, S.H
Hukum adalah
peratuan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia
dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib,
dan yang pelanggaran terhadapnya mengakibatkan diambilnya tindakan, yaitu
hukuman terentu.
Jadi, sistem hukum adalah suatu kesatuan hukum dari
unsur hukum yang saling berhubungan dan bekerjasama sebagai suatu kesatuan
untuk mencapai tujuan tertentu.
B. Perubahan
Sistem Hukum Indonesia
Setelah mengalami penjajahan oleh
negara Belanda, dimana Indonesia saat itu masih ikut menggunakan sistem hukum
yang berasal dari negara Belanda tersebut yakni sistem hukum eropa kontinental.
Namun, seiring berjalannya waktu dan berkembangnya kehidupan masyarakat
Indonesia, setelah itu terjadi perubahan dalam sistem hukum yang berlaku di
Indonesia. Awal sistem hukum yang diterapkan di Indonesia hanya sistem hukum
eropa kontinental saja, setelah itu sistem hukum yang berlaku di Indonesia
mengalami perpaduan antara sistem eropa kontinental dan sistem hukum anglo
saxon.
Sistem Hukum Eropa Kontinental lebih
mengedapankan hukum tertulis, peraturan perundang-undangan menduduki tempat
penting. Peraturan perundang-undangan yang baik, selain menjamin adanya
kepastian hukum, yang merupakan syarat mutlak bagi terwujudnya ketertiban, juga
dapat diharapkan dapat mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan kemanfaatan.
Lembaga peradilan harus mengacu pada undang-undang. Sifat undang-undang
tertulis yang statis diharapkan dapat lebih fleksibel dengan sistem bertingkat
dari norma dasar sampai norma yang bersifat teknis, serta dengan menyediakan
adanya mekanisme perubahan undang-undang.
Sistem Hukum Anglo Saxon cenderung
lebih mengutamakan hukum kebiasaan, hukum yang berjalan dinamis sejalan dengan
dinamika masyarakat. Pembentukan hukum melalui lembaga peradilan dengan sistem
jurisprudensi dianggap lebih baik agar hukum selalu sejalan dengan rasa
keadilan dan kemanfaatan yang dirasakan oleh masyarakat secara nyata.
Sistem hukum di Indonesia dewasa ini
adalah sistem hukum yang unik, sistem hukum yang dibangun dari proses penemuan,
pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang telah ada.
Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri lokal, tetapi juga
mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut oleh masyarakat internasional.
Apapun sistem hukum yang dianut,
pada dasarnya tidak ada negara yang hanya didasarkan pada hukum tertulis atau
hukum kebiasaan saja. Tidak ada negara yang sistem hukumnya menafikan
pentingnya undang-undang dan pentingnya pengadilan
C. Perkembangan
Sistem Hukum Indonesia berdasarkan pemikiran Filsuf Hukum
Perkembangan sistem Hukum Indonesia
makin tampak ketika adanya sumbangan dari pemikiran para filsuf pemikir hukum.
Perkembangan itu salah satunya adalah dari madzhab positivis. Dalam arti ini,
positivisme sama tuanya dengan filsafat. Tetapi sebagai gerakan yang tetap
dalam filsafat umum, sosiologi dan ilmu hukum pada hakikatnya adalah gejala
modern. Yang di satu pihak menyertai pentingnya ilmu pengetahuan, dan sisi yang
lain menjelaskan tentang filsafat politik dan teori tentang ilmu hukum.
Positivisme atau yang dikenal dengan
aliran positivis mempunyai pengaruh yang besar dalam proses pembentukan dan
penegakan hukum di Indonesia. Pada kebanyakan tindakan lembaga legilatif untuk
membuat undang-undang, tindakan Pemerintah (Excecutive) dan aparat dalam menegakkan
hukum, bahkan tindakan hakim dalam memutus perkara selalu menjadikan pemikiran
mazhab ini sebagai acuan. Selain itu, aspek keadilan dalam penegakan hukum
dalam sistem hukum nasional selalu dilihat dari perspektif keadilan hukum.
Lahirnya pemikiran mazhab positivis
mempunyai landasan tersendiri sehingga pandangan ini memiliki ciri khas
tersendiri, namun sayangnya pejabat negara yang diberi tugas untuk membentuk
dan melaksanakan hukum kurang memperhatikan landasan pemikiran mazhab hukum
positivis, akibatnya keadilan hukum selalu menjadi perdebatan dalam masyarakat
dan tidak jarang selalu melahirkan konflik baik vertikal maupun horizontal.
Positivisme menekankan setiap
metodologi yang dipikirkan untuk menemukan suatu kebenaran, hendaknya
menjadikan realitas sebagai sesuatu yang eksis dan objektif dan harus
dilepaskan dari berbagai macam konsepsi metafisis subjektif. Ketika pemikiran
positivisme diterapkan ke dalam bidang hukum, positivisme hukum melepaskan
pemikiran hukum sebagaimana dianut oleh para pemikir aliran hukum alam. Jadi
setiap norma hukum haruslah eksis secara objektif sebagai norma-norma yang
positif. Hukum tidak dikonsepkan sebagai asas-asas moral yang abstrak tentang
hakikat keadilan, melainkan sesuatu yang telah dipositifkan sebagai undang-undang
guna menjamin kepastian hukum.
Pembentukan hukum yang dimaksud
disini adalah lahirnya aturan tertulis yang memiliki keabsahan untuk
diberlakukan. Lahirnya hukum yang sah karena adanya keputusan dari suatu
badan/lembaga yang diberi berwenang oleh konstitusi untuk menciptakan hukum.
Jika mengartikan hukum sebagai sistem aturan hukum positif, maka lembaga yang
membentuk hukum (legislative functie) dalam sistem Pemerintahan Indonesia
dijalankan oleh Lembaga Legislatif (Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah), Lembaga Eksekutif
(Presiden/Wakil Presiden dibantu para Menteri), dan Lembaga Yudikatif
(kehakiman).
Pembentukan Undang-Undang Oleh
Lembaga DPR/DPD dengan persetujuan Presiden. Bentuk hukum yang diciptakan oleh
lembaga ini adalah undang-undang. Ciri khas undang-undang yang dibentuk oleh
Lembaga DPR/DPD dengan persetujuan Presiden adalah materi atau isinya yang
bersifat ”umum”. Hal ini sesuai dengan pemikiran Hans Kelsen bahwa
Undang-undang sebagai norma hukum yang bersifat umum. Isi undang-undang selalu
bersifat umum, sehingga sebagian besar pasal-pasal yang terdapat di dalamnya
masih membutuhkan aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah.
Di Indonesia, penerapan prinsip ini
melahirkan masalah karena hukum selalu menjadi kendala dalam pembangunan bahkan
hukum itu bersifat statis dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan setiap
keadaan yang berubah. Banyak kalangan mengatakan dengan gamblang bahwa hukum
itu bersifat statis dan kaku (Rigid). Pandangan yang demikian adalah keliru
karena mengabaikan aspek lain dalam pembentukan hukum.
Model penegkan hukum di Indonesia
tidak terlepas dari pengaruh pemikiran positivisme. Menurut Kelsen bahwa norma
hukum yang sah menjadi standar penilaian bagi setiap perbuatan yang dilakukan
oleh setiap individu/kelompok dalam masyarakat . Standar penilaian dimaksud
adalah hubungan antara perbuatan manusia dengan norma hukum. Jadi norma hukum
menjadi ukuran untuk menghukum seseorang atau tidak, dan mengklaim seseorang
bersalah atau tidak harus diukur berdasarkan pasal dalam peraturan tertulis,
tanpa memperhatikan aspek moral dan keadilan.
Kaum positivisme mengartikan
keadilan hukum sebagai legalitas. Suatu perturan hukum dikatakan adil jika
benar-benar diterapkan pada semua kasus. Demikian sebaliknya, suatu peraturan
hukum dianggap tidak adil jika hanya diterapkan pada suatu kasus tertentu, dan
tidak diterapkan pada kasus lain yang sama. Substansi keadilan hukum dalam
pandangan positivism adalah penerapan hukum dengan tanpa memandang nilai dari
suatu aturan hukum (asas kepastian). Jadi hukum dan keadilan adalah dua sisi
mata uang. Kepastian hukum adalah adil, dan keadilan hukum berarti kepastian
hukum.
Doktrin positivisme ini masih
diterapkan dalam proses penegakan hukum di Indonesia, terutama pada bidang
pidana menyangkut penerapan pasal dan prosedur dalam sistem pelaksanaan hukum.
Oleh karena prinsip yang mengacu pada aturan hukum tertulis sehingga banyak
kasus dalam sengketa lingkungan, para pelaku kejahatan selalu dinyatakan bebas
dari tuntutan hukum karena tidak memenuhi unsur-unsur dalam aturan hukum
lingkungan. Wajar jika dikatakan bahwa wajah penegakan hukum di Indonesia
dinyatakan dengan ungkapan “Hukum hanya berlaku terhadap mereka yang lemah”.
Kenyataan ini sangat bertentangan dengan prinsip “Setiap orang bersamaan
kedudukannya di depan hukum”.
D. Perubahan
dan Perkembangan Sistem Hukum Indonesia Berdasarkan Pemikiran Filsuf Roscoe
Pound
Hukum sebagai sistem norma yang
berlaku bagi masyarakat Indonesia, senantiasa dihadapkan pada perubahan sosial
yang sedemikian dinamis seiring dengan perubahan kehidupan masyarakat, baik
dalam konteks kehidupan individual, soaial maupun politik bernegara. Pikiran
bahwa hukum harus peka terhadap perkembangan masyarakat dan bahwa hukum harus
disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan keadaan yang telah berubah,
sesungguhnya terdapat dalam alam pikiran manusia Indonesia
Roscoe Pound adalah salah satu ahli
hukum yang beraliran Sociological Jurisprudence yang lebih mengarahkan
perhatiannya pada kenyataan hukum daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam
masyarakat. Kenyataan hukum pada dasarnya adalah kemauan publik, jadi tidak
sekedar hukum dalam pengertian law in books (hukum tertulis). Sociological
Jurisprudence menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum tertulis
sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya kepastian hukum (positivism
law) dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya
peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum
Aliran Sociological Jurisprudence
dalam ajarannya berpokok pada pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang
hidup (living law) , atau dengan perkataan lain suatu pembedaan antar
kaidah-kaidah hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Bahwa hukum positif
hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan
legislatif, keputusan-keputusan badan judikatif ataupun ilmu hukum, akan tetapi
justru terletak di dalam masyarakat itu sendiri
Roscoe Pound menyatakan dan
menjelaskan sebuah ringkasan antinomi lain yang berwujud ketegangan antara
hukum dan aspek-aspek lain dari kehidupan bersama. Filsafat hukum mencerminkan
keadaan bersitegang antara tradisi dan kemajuan, stabilitas dengan perubahan
serta kepastian hukum. Sebegitu jauh, karena salah satu tugas hukum adalah
untuk menegakkan ketertiban.
Dalam buku lain, Pound menjelaskan
bahwa tugas pokok pemikiran modern mengenai hukum adalah tugas rekayasa sosial.
Pound berusaha untuk memudahkan dan menguatkan tugas rekayasa sosial ini.
Dengan merumuskan dan menggolongkan kepentingan-kepentingan sosial yang
keseimbangannya menyebabkan hukum berkembang.
Dalam paham sosiologi hukum, yang
dikembangkan oleh aliran Pragmatic Legal Realism yang dipelopori antara
lain oleh Roscoe Pound memiliki keyakinan bahwa hukum adalah “a tool of
social engineering” atau “alat pembaharuan masyarakat” atau menurut Mochtar
Kusumaatmadja “sarana perubahan masyarakat”, dalam konteks perubahan hukum di
Indonesia harus diarahkan ke jangkauan yang lebih luas, yang berorientasi pada
:
- Perubahan hukum melalui peraturan perundangan ang lebih bercirikan sikap hidup serta karakter bangsa Indonesia, tanpa mengabaikan nilai-nilai universal manusia sebagai warga dunia, sehingga kedepan akan terjadi transformasi hukum yang lebih bersifat Indonesiani (mempunyai seperangkat karakter bangsa yang positif).
- Perubahan hukum harus mampu membimbing bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mandiri, bermartabat dan terhormat dimata pergaulan antar bangsa, karena hukum bisa dijadikan sebagai sarana mencapai tujuan bangsa yang efektif.
Perubahan hukum di Indonesia pada
kenyataannya berlangsung, baik yang dilakukan oleh penyelenggara negara yang
berwenang (lembaga legislatif dan eksekutif) melalui penciptaan berbagai
peraturan perundangan yang menjangkau semua fase kehidupan baik yang
berorientasi pada kehidupan perorangan, kehidupan sosial maupun kehidupan
bernegara (politik) atau yang diusulkan oleh berbagai lembaga yang memiliki
komitmen tentang pemabruan dan pembinaan hukum, sehingga mampu mengisi
kekosongan atau kevakuman hukum dalam berbagai segi kegidupan.
Dengan perencanaan yang baik,
perubahan hukum diarahkan sesuai dengan konsep pembangunan hukum di Indonesia,
yang menurut Mochtar Kusumaatmadja harus dilakukan dengan jalan :
- Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasiserta unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat.
- Menertibkan fungsi lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing.
- Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum.
- Memupuk kesadaran hukum masyarakat, serta
- Membina sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah/ negara ke arah komitmen yang kuat dalam penegakan hukum, keadilan serta perlidungan terhadap harkat dan martabat manusia.
E. Hukum Tata
Negara
Tata Negara berarti sistem penataan
negara yang berisi ketentuan mengenai struktur kenegaraan dan mengenai
substansi norma kenegaraan. Dengan kata lain, Hukum Tata Negara merupakan
cabang Ilmu Hukum yang membahas mengenai tata struktur kenegaraan, mekanisme
hubungan antar struktur kenegaraan, serta mekanisme hubungan antara struktur
negara dengan warga negara.
Istilah Hukum Tata Negara berasal
dari bahasa Belanda Staatsrecht yang artinya adalah hukum Negara. Staats
berarti negara-negara, sedangkan recht berarti hukum. Hukum negara
dalam kepustakaan Indonesia diartikan menjadi Hukum Tata Negara. Mengenai
definisi hukum tata negara masih terdapat perbedaan pendapat di antara ahli
hukum tata negara. Perbedaan ini antara lain disebabkan oleh masing-masing ahli
berpendapat bahwa apa yang mereka anggap penting akan menjadi titik berat
perhatiannya dalam merumuskan pengertian dan pandangan hidup yang berbeda.
Berikut pengertian Hukum Tata Negara menurut beberapa ahli :
1. Cristian Van
Vollenhoven
Hukum Tata Negara mengatur semua
masyarakat hukum atasan dan masyarakat hukum bawahan menurut
tingkatan-tingkatannya, yang masing-masing menentukan wilayah atau lingkungan
rakyatnya sendiri-sendiri, dan menentukan badan-badan dalam lingkungan
masyarakat hukum yang bersangkutan beserta fungsinya masing-masing, serta
menentukan pula susunan dan wewenangnya dari badan-badan tersebut.
2. J. H. A.
Logemann
Hukum Tata Negara adalah hukum yang
mengatur organisasi negara. Negara adalah organisasi jabatan-jabatan. Jabatan
merupakan pengertian yuridis dan fungsi, sedangkan fungsi merupakan pengertian
yang bersifat sosiologis. Karena negara merupakan organisasi yang terdiri dari
fungsi-fungsi dalam hubungannya satu dengan yang lain maupun dalam
keseluruhannya, maka dalam pengertian yuridis, negara merupakan organisasi
jabatan.
3. J. R.
Stellinga
Hukum Tata Negara adalah hukum yang
mengatur wewenang dan kewajiban alat-alat perlengkpan negara, mengatur hak dan
kewajiban warga negara.
4. Kusumadi
Pudjosewojo
Hukum Tata Negara adalah hukum yang
mengatur bentuk negara dan bentuk pemerintahan, yang menunjukkan masyarakat
hukum yang atasan maupun yang bawahan, beserta tingkatan-tingkatannya yang
selanjutannya menegaskan wilayah dan lingkungan rakyat dari
masyarakat-masyarakat hukum itu dan akhirnya menunjukkan alat-alat perlengkapan
yang memegang kekuasaan dari masyarakat hukum itu, beserta susunan, wewenang,
tingkatan imbangan dari dan antara alat perlengkapan negara itu.
5. Moh.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim
Hukum Tata Negara dapat dirumuskan
sebagai sekumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi dari pada negara,
hubungan antar alat perlengkapan negara dalam garis vertikal dan horizontal,
serta kedudukan warga negara dan hak azasinya
6. Paul
Scholten
Menurut Paul Scholten, Hukum Tata Negara
itu tidak lain adalah het recht dat regelt de staatsorganisatie, atau
hukum yang mengatur tata organisasi negara. Dengan rumusan demikian,
Scholten hanya menekankan perbedaan antara organisasi negara dari organisasi
non-organisasi, seperti gereja dan lain-lain.
7. Van Der Pot
Hukum Tata Negara adalah
peratuaran-peraturan yang menentukan badan-badan yang diperlakukan beserta
kewenangannya masing-masing, hubungannya satu sama lain, serta hubungannya
dengan individu warga negara dan kegiatannya.
Dari beberapa pengertian di atas
maka dapat disimpulkan bahwa hukum tata negara adalah hukum yang mengatur
organisasi negara, hubungan alat perlengkapan negara, susunan dan wewenang
serta hak dan kewajiban warga negara.
F.
Hukum Administrasi Negara
1.
Pengertian
Hukum Administrasi Negara
Mengenai pengertian Hukum
Administrasi Negara hingga saat ini masih belum ada kesepakatan atau kesatuan
pendapat diantara para sarjana. Oleh karena itu untuk mendapatkan pemahaman
yang cukup memadai maka dikemukakan batasan-batasan pengertian Hukum
Administrasi Negara.
a)
Van Vollenhoven mengemukakan bahwa, “Hukum
Administrasi Negara adalah suatu gabungan ketentuan-ketentuan yang mengikat
badan-badan yang tinggi maupun yang rendah apabila badan-badan itu menggunakan
wewenangnya yang telah diberikan kepadanya oleh Hukum Tata Negara”.
b)
J.H Logemann mengatakan bahwa, “Hukum Administrasi
Negara adalah hukum mengenai hubungan-hubungan antara jabatan-jabatan satu
dengan yang lainnya serta hubungan hukum antara jabatan-jabatan Negara itu
dengan warga masyarakat”.
c)
Menutut Muchsan, “Hukum Administrasi Negara adalah
hukum mengenai struktur dan kefungsian administrasi Negara”.
d)
Prajudi Atmosudirjo, dalam SF. Marbun (2001:22)
berpendapat bahwa “Hukum Administrasi Negara adalah hukum mengenai pemerintah beserta
aparaturnya yang terpenting yakni administrasi Negara”.
Dari berbagai batasan pengertian
Hukum Administrasi Negara tersebut, maka dapat disimpulakan bahwa
Hukum Administrasi Negara adalah
hukum tentang pengadministrasian Negara yaitu mengenai pemerintahan dan segala
peraturan-peraturan di dalamnya serta bagaiman menjalankan fungsi dan tugas
pemerintahan tersebut dalam bidang kehidupan masyarakat dengan tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan umum.
2. Letak
Kedudukan Hukum Administrasi Negara dalam Tata Hukum Indonesia
Keberadaan Hukum Administrasi Negara
dalam suatu Negara sangatlah penting, baik bagi administrasi Negara maupun
masyarakat luas. Dengan adanya Hukum Administrasi Negara, pihak administrasi
Negara diharapkan dapat mengetahui batas-batas dan hakekat kekuasaanya, tujuan
dan sifat daripada kewajiban-kewajiban, juga bagaiman bentuk-bentuk sanksinya
bilamana mereka melakukan pelanggaran hukum.
Sedangkan dibagian yang lain, yakni
bagi masyarakat, Hukum Administrasi Negara merupakan perangkat norma-norma yang
dapat digunakan untuk melindungi kepentingan serta hak-hak mereka.
Seperti diketahui dalam ilmu hukum
terdapat dua pembagian hukum, yaitu Hukum Privat (Sipil)
dan Hukum Publik.Penggolongan ke dalam hukum privat dan publik itu tidak
lepas dari isi dan sifat hubungan yang diatur dan bersumber dari
kepentingan-kepentingan yang hendak dilindungi. Adakalanya kepentingan itu
bersifat perorangan tetapi ada pula yang bersifat umum. Hubungan hukum tersebut
memerlukan pembatasan yang jelas dan tegas yang melingkupi hak-hak dan
kewajiban dari dan terhadap siapa orang tersebut berhubungan.
Hukum publik adalah
hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dengan warganya yang didalamnya
termasuk Pidana, Hukum Tata Negara dan Hukum Tata Pemerintahan (HAN). Pada
mulanya, Hukum Administrasi Negara menjadi bagian dari Hukum Tata Negara,
tetapi karena perkembangan masyarakat dan studi hukum dimana ada tuntutan akan
munculnya kaidah-kaidah hukum baru dalam studi Hukum Administrasi Negara maka
lama kelamaan HAN menjadi lapangan studi sendiri, terpisah bahkan mencakup
masalah-masalah yang jauh lebih luas dari HTN. Kecenderungan seperti ini tampak
pula pada bagian-bagian tertentu dari HAN itu sendiri, seperti kecenderungan
Hukum Pajak yang cenderung untuk menjadi ilmu yang mandiri, terlepas dari HAN.
Dengan demikian, HAN merupakan
bagian dari hukum publik karena berisi peraturan yang berkaitan dengan
masalah-masalah umum. Kepentingan umum yang dimaksud adalah kepentingan
nasional, masyarakat dna negara. Kepentingan umum harus lebih didahulukan
daripada kepentingan individu, golongan dan kepentingan daerah dengan pengertian
bahwa kepentingan perseorangan harus dilindungi secara seimbang, sehingga pada
akhirnya akan tercapai tujuan negara dan pemerintahan seperti tertera dengan
jelas dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi:
“…… melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”
Hukum administrasi berisi
peraturan-peraturan yang menyangkut “administrasi”. Administrasi sendiri
berarti “bestuur” (pemerintah). Dengan demikian, hukum administrasi
(administratief recht) dapat juga disebut dengan hukum tata pemerintahan
(bestuursrecht). Pemerintah (bestuur) juga dipandang sebagai fungsi
pemerintahan (bestuursfunctie) yang merupakan penguasa yang tidak termasuk
pembentukan UU dan peradilan.
Hukum Administrasi Negara merupakan
salah satu cabang atau bagian dari hukum yang khusus. Dalam studi Ilmu
Administrasi, mata kuliah Hukum Administrasi Negara merupakan bahasan khusus
tentang salah satu aspek dari administrasi, yakni bahasan mengenai aspek hukum
dari administrasi Negara. Sedangkan dikalangan PBB dan kesarjanaan
internasional, Hukum Administrasi Negara diklasifikasi baik dalam golongan
ilmu-ilmu hukum maupun dalam ilmu-ilmu administrasi.
Hukum administrasi materiil terletak
diantara hukum privat dan hukum pidana. Hukum administrasi dapat dikatakan
sebagai “hukum antara” (Poly-Juridisch Zakboekje h. B3/4). Sebagai contoh Izin
Bangunan. Dalam memberikan izin penguasa memperhatikan segi-segi keamanan dari
bangunan yang direncanakan. Dalam hal demikian, pemerintah menentukan
syarat-syarat keamanan. Disamping itu bagi yang tidak mematuhi
ketentuan-ketentuan tentang izin bangunan dapat ditegakkan sanksi pidana. W.F.
Prins mengemukakan bahwa “hampir setiap peraturan berdasarkan hukum
administrasi diakhiri in cauda venenum dengan sejumlah ketentuan pidana (in
cauda venenum secara harfiah berarti ada racun di ekor/buntut).
Menurut isinya hukum dapat dibagi
dalam Hukum Privat dan Hukum Publik. Hukum Privat (hukum
sipil), yaitu hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara orang yang satu
dengan orang yang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.
Sedangkan Hukum Publik (Hukum Negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan
antara negara dengan alat-alat perlengkapan atau hubungan antara negara dengan
perseorangan (warga negara), yang termasuk dalam hukum publik ini salah satunya
adalah Hukum Administrasi Negara..
Hukum yang mengatur sebagian
lapangan pekerjaan administrasi negara. Bagian lain lapangan pekerjaan
administrasi negara diatur dalam HTN, Hukum Privat dsbnya. Pengertian HAN tidak
identik dengan pengertian “hukum yang mengatur pekerjaan administrasi
negara". Maka dapat dikatakan bahwa HAN adalah suatu sb sistem dari
Administrasi negara.
G.
Hukum
Moderen
Menurut Drs. Satjipto Rahardjo,
SH, sejak hukum modern semakin bertumpu pada dimensi bentuk yang menjadikannya
formal dan procedural, maka sejak itu pula muncul perbedaan antara keadilan
formal atau keadilan menurut hukum disatu pihak dan keadilan sejati atau
keadilan substansial di pihak lain. Dengan adanya dua macam dimensi keadilan
tersebut, maka kita dapat melihat bahwa dalam praktiknya hukum itu ternyata
dapat digunakan untuk menyimpangi substansial. Penggunaan hukum yang demikian
itu tidak berarti melakukan pelanggaran hukum, melainkan semata – mata
menunjukkan bahwa hukum itu dapat digunakan untuk tujuan lain selain mencapai
keadilan. Dijelaskan oleh Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH , progresivisme
bertolak dari pandangan kemanusiaan bahwa manusia dasarnya adalah baik,
memiliki kasih sayang serta kepedulian terhadap sesama sebagai modal penting
bagi membangun kehidupan berhukum dalam masyarakat. Namun apabila dramaturgi hukum
menjadi buruk seperti selama ini terjadi dinegara kita, yang menjadi sasaran
adalah para aparat penegak hukumnya, yakni polisi, jaksa, hakim dan advokat.
Meskipun, apabila kita berpikir jernih dan berkesinambungan tidak sepenuhnya
mereka dipersalahkan dan didudukan sebagai satu – satunya terdakwa atas
rusaknya wibawa hukum di Indonesia. Soekanto 1979, secara konsepsional maka
inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan
nilai – nilai yang terjabarkan didalam kaidah – kaidah yang mantap dan
mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir
untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Pokok penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor – faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor –
faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau
negatifnya terletak pada isi faktor – faktor tersebut.
Faktor – faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada
undang – undang saja.
2)
Faktor penegak hukum, yakni pihak – pihak yang
membentuk maupun menerapkan hukum
3)
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan
hukum.
4)
Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum
tersebut berlaku atau diterapkan.
5)
Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta,
dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling
berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum
juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan
demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan
mengetengahkan contoh – contoh yang diambil dari kehidupan masyarakat
Indonesia.
1. Undang – undang
Undang – undang dalam arti material adalah peraturan
tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa pusat maupun daerah yang
sah (Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1979). Mengenai berlakunya undang –
undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang –
undang tersebut mempunyai dampak yang positif.
Asas
– asas tersebut antara lain:
a)
Undang – undang tidak berlaku surut.
b)
Undang – undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih
tinggi.
c)
Mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula.
d)
Undang – undang yang bersifat khusus menyampingkan
undang – undang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama.
e)
Undang – undang yang berlaku belakangan, membatalkan
undang – undang yang berlaku terdahulu.
f) Undang –
undang tidak dapat diganggu gugat.
g)
Undang – undang merupakan suatu sarana untuk mencapai
kesejahteraan spiritual dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui
pelestarian ataupun pembaharuan (inovasi).
2. Penegak Hukum
Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam
masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan – kemampuan tertentu sesuai
dengan aspirasi masyarakat. Mereka harus dapat berkomunikasi dan mendapat
pengertian dari golongan sasaran, disamping mampu menjalankan atau membawakan
peranan yang dapat diterima oleh mereka. Ada beberapa halangan yang mungkin
dijumpai pada penerapan peranan yang seharusnya dari golongan sasaran atau
penegak hukum. Halangan – halangan tersebut, adalah:
a)
Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam
peranan pihak lain dengan siapa dia berinteraksi.
b)
Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.
c)
Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa
depan, sehingga sulit sekali untuk membuat proyeksi.
d)
Belum ada kemampuan untuk menunda pemuasan suatu
kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan material.
e)
Kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan
pasangan konservatisme. Halangan – halangan tersebut dapat diatasi dengan
membiasakan diri dengan sikap – sikap sebagai berikut:
·
Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan
baru.
·
Senantiasa siap untuk menerima perubahan setelah
menilai kekurangan yang ada pada saat itu.
·
Peka terhadap masalah – masalah yang terjadi
disekitarnya.
·
Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin
mengenai pendiriannya.
·
Orientasi kemasa kini dan masa depan yang sebenarnya
merupakan suatu urutan.
·
Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.
·
Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada
nasib.
·
Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi
didalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
·
Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun
kehormatan diri sendiri dan pihak lain.
·
Berpegang teguh pada keputusan – keputusan yang
diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang mantap.
3. Faktor Sarana atau Fasilitas
Tanpa adanya sarana atau fasilitas
tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berjalan dengan lancar.
Sarana atau fasilitas tersebut antara lain, mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai,
keuangan yang cukup dan seterusnya. Sarana atau fasilitas mempunyai peran yang
sangat penting dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas
tersebut, tidak akan mungkin penegak hokum menyerasikan peranan yang seharusnya
dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tersebut,
sebaiknya dianut jalan pikiran sebagai berikut:
Ø Yang tidak
ada, diadakan yang baru.
Ø Yang rusak
atau salah, diperbaiki atau dibetulkan.
Ø Yang kurang,
ditambah.
Ø Yang macet,
dilancarkan.
Ø Yang mundur
atau merosot, dimajukan atau ditingkatkan.
4. Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari
masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Oleh karena
itu, dipandang dari sudut tertentu maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan
hukum tersebut. Masyarakat Indonesia mempunyai kecenderungan yang besar untuk
mengartikan hukum dan bahkan
engidentifikasikannya dengan petugas (dalam hal ini penegak hukum
sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum
senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum tersebut.
5. Faktor Kebudayaan
Kebudayaan (system) hukum pada
dasarnya mencakup nilai – nilai yang mendasari hokum yang berlaku, nilai –
nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga
dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasangan nilai yang
berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut:
a)
Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
b)
Nilai jasmani atau kebendaan dan nilai rohani atau
keakhlakan.
c)
Nilai kelanggengan atau konservatisme dan nilai
kebaharuan atau inovatisme.
Di Indonesia masih berlaku
hukum adat, hukum adat adalah merupakan kebiasaan yang berlaku dalam
masyarakat. Dalam sektor pembentukan hukum, seringkali juga kita menemui suatu
substansi aturan hukum baik berupa undang – undang, peraturan pemerintah,
perpres, hingga perda yang tidak mencerminkan aspirasi masyarakat luas, bahkan
justru secara substanstif dirasa merugikan kepentingan masyarakat luas pada
umumnya. Dalam sektor penegakan hukum, sudah tak terhitung putusan pengadilan
yang justru dinilai banyak kalangan justru mencederai rasa keadilan masyarakat.
Bahwasanya dunia hukum Indonesia terus mendapat sorotan yang hampir semuanya
bernada minor, hal ini tidak terlepas dari ketidakpercayaan publik terhadap
sistem hukum kita baik ditinjau dari struktur (institusi), substansi serta
budaya (culture) hukumnya. Banyak pihak berpendapat bahwa hukum kita hanya
untuk mereka yang memiliki uang, kekuasaan atau jabatan maupun kekuatan politik
sehingga dengan itu mereka bisa membeli hukum kita, dimana hal tersebut bisa
mengurangi bahkan menghilangkan terciptanya supremasi hukum di Indonesia.
Salah satu hal yang perlu mendapat sorotan tajam dari usaha untuk
menciptakan supremasi hukum adalah sistem peradilan yang merupakan inti dari
penegakan hukum di Indonesia. Hal lain yang tak kalah penting adalah segala
permasalahan yang ada dan terjadi didalamnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
sistem peradilan di Indonesia saat ini penuh dengan kebobrokan dan kebusukan
berpengaruh sangat kuat pada merosotnya atau bahkan hilangnya supremasi hukum
di negara ini. Hal ini tentunya tidak bisa dibiarkan terus terjadi begitu saja
tanpa adanya usaha untuk melakukan perubahan menuju terciptanya supremasi
hukum.
Oleh
karena itu untuk menuju terciptanya supremasi hukum tentunya memerlukan suatu
kerja keras dari seluruh elemen yang ada di negara kita. Upaya untuk
menciptakan supremasi hukum bukan hanya hak lembaga – lembaga negara kita
dengan pembagian kekuasaannya yang bercirikan prinsip checks and balances dalam
pelaksanaan pemerintahannya, tetapi juga merupakan hak dari setiap warga negara
untuk berpartisipasi dalam usaha terciptanya supremasi hukum dinegara kita.
Bahwasanya pentingnya budaya hukum untuk mendukung adanya sistem hukum,
sebagaimana Friedman mengatakan, bahwa substansi dan aparatur saja tidak cukup
untuk berjalannya sistem hukum. Dimana Lawrence M. Friedman menekankan kepada
pentingnya budaya hukum (legal culture). Karena sistem hukum tanpa budaya hukum
yang mendukungnya serupa dengan iklan di dalam baskom yang tidak bisa berenang.
Dimana kalau sistem hukumnya di umpamakan sebagai suatu pabrik, menurut
Friedman lagi, jika substansi itu adalah produk yang dihasilkan dan aparatur
adalah mesin yang menghasilkan produk, sedangkan budaya hukum adalah manusia
yang tahu kapan mematikan dan menghidupkan mesin dan yang tahu memproduksi
barang apa yang dikehendakinya. Ambil contoh mengapa aparatur hukum ada yang
tidak taat hukum?. Jika kita mencari sebabnya, maka kita memasuki masalah
budaya hukum (legal culture), begitu juga ruang lingkup budaya hukum, bila kita
ingin mengetahui tidak sedikit orang yang tak bersalah menjadi bulan – bulanan
aparat hukum.
Demikian
juga hal nya, sebagaimana kita ketahui bahwasanya dalam dunia kejaksaan
diIndonesia terdapat lima norma kode etik profesi jaksa, yaitu:
a.
Bersedia untuk menerima kebenaran dari siapapun,
menjaga diri, berani, bertanggung jawab dan dapat menjadi teladan
dilingkungannya.
b.
Mengamalkan dan melaksanakan pancasila serta secara
aktif dan kreatif dalam pembangunan hukum untuk mewujudkan masyarakat adil
ketiga.
c.
Bersikap adil dalam memberikan pelayanan kepada para
pencari keadilan.
d.
Berbudi luhur serta berwatak mulia, setia, jujur, arif
an bijaksana dalam diri, berkata dan bertingkah laku.
e.
Mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada
kepentingan pribadi atau golongan.
Kode etik jaksa serupa dengan
kode etik profesi yang lain. Mengandung nilai – nilai luhur dan ideal sebagai
pedoman berperilaku dalam satu profesi. Yang apabila nantinya dapat dijalankan
sesuai dengan tujuan akan melahirkan jaksa – jaksa yang memang mempunyai
kualitas moral yang baik dalam melaksanakan tugasnya. Sehingga kehidupan
peradilan di negara kita akan mengarah pada keberhasilan. Sebagai komponen
kekuasaan eksekutif dibidang penegak hukum adalah tepat jika setelah kurun
waktu tersebut, kejaksaan kembali merenungkan keberadaan institusinya sehingga
dari perenungan ini diharapkan dapat muncul kejaksaan yang berparadigma baru
yang tercermin dalam sikap, pikiran dan perasaan sehingga kejaksaan tetap
mengenal jati dirinya dalam memenuhi panggilan tugasnya sebagai wakil negara
sekaligus wali masyarakat dalam bidang penegakan hukum.
Dan bukan sebagai wakil orang
pribadi per pribadi dalam memenuhi penggilan tugasnya. Kejaksaan adalah
merupakan salah satu pilar birokrasi hukum tidak terlepas dari tuntutan
masyarakat yang berperkara agar lebih menjalankan tugasnya lebih profesional
dan memihak kepada kebenaran. Sepanjang yang diingat, belum pernah rasanya
kejaksaan di dalam sejarahnya sedemikian merosot citranya seperti saat ini.
Mengevaluasi atas kinerja yang telah dilaksanakan selama ini. Serta menunjukkan
jati diri agar peristiwa yang sama tidak terulang lagi. Dalam situasi dan
kondisi sekarang ini dimana kejaksaan mengalami krisis kredibilitas maka sudah
sepantasnya pihak kejaksaan mewujudkan aparat hukum yang profesional dan
berintegritas guna meningkatkan citra kejaksaan. Berbagai institusi bahkan
negara manapun pernah mengalami krisis kredibilitas, namun yang terpenting
adalah menyikapi dan menghadapinya. Apakah akan bersembunyi dan mengaharap
orang akan melupakannya? Ataukah akan berjalan terus dengan melakukan koreksi
mendasar terhadap faktor – faktor yang menyebabkan krisis kredibilitas itu
terjadi?. Sebagai pilihan, berjalan terus dengan melakukan koreksi mendasar
yang mesti dilakukan. Semangat pembauran dan koreksi mendasar diarahkan pada
perbaikan serta pembenahan institusi kejaksaan disegala bidang.
Termasuk peningkatan
profesionalisme aparatur kejaksaan yang sinergis dengan peningkatan integritas,
guna mengoptimalkan pelaksanaan visi dan misi kejaksaan, serta selaras pula
dengan agenda reformasi birokrasi dalam memberikan pelayanan hukum yang lebih baik
kepada masyarakat. Peningkatan profesionalisme dan integritas harus dapat
diwujudkan dalam setiap pelaksanaan tugas dan wewenang dalam upaya penegakan
hukum dengan memberikan hasil yang nyata. Tidak bersifat retrorika, tetapi
secara sungguh – sungguh dapat dirasakan oleh masyarakat, secara adil, taat
asas, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan tidak diskriminatif. Dengan
pelaksanaan tugas secara profesional dan berintegritas, diharapkan dapat
memulihkan citra dan kredibilitas kejaksaan dimata masyarakat tahap demi tahap.
Berbagai program kegiatan telah ditetapkan dalam pembauran kejaksaan yang
memiliku spesifikasi dan kekhususan dengan tujuan untuk melakukan pembenahan.
Baik institusional maupun sumber daya manusia. Salah satu yang diprioritaskan
adalah pengembangan dan pembinaan sumber daya manusia agar dapat mewujudkan
aparatur kejaksaan yang profesional dan berintegritas.
Pengembangan dan pembinaan
sumber daya manusia kedepan diarahkan pada hal – hal yang terkait dengan pola
jenjang karir, monitoring dan sistem evaluasi. Begitu pula peningkatan
kemampuan dan keahlian dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan. Baik yang
bersifat manajemen admistratif, maupun teknis pengadaan perkara. Monitoring dan
evaluasi terhadap kinerja para pejabat struktural maupun fungsional akan
dilakukan secara berkelanjutan dan dengan komitmen yang tinggi sehingga reward
dan punishment dapat diterapkan secara tegas dan tuntas. Kepada jajaran bidang
intelejen sebagai bagian dari organisasi diharapkan mampu menghasilkan produk –
produk inteljen yang bermanfaat bagi semua bidang. Kepada jajaran bidang pidana
umum agar penanganan perkara dan administrasi perkara tindak pidana umum, mulai
dari tahap penuntutan, upaya hukum, sampai dengan eksekusi harus benar – benar
diperhatikan. Pimpinan unit bersangkutan juga harus selalu melakukan pengawasan
melekat secara ketat pada tiap – tiap tahapan dalam penaganan perkara. Begitu
juga dengan peningkatan kegiatan eksaminasi perkara secara rutin dan
berkesinambungan. Penyelesaian secara segera pekara – perkara yang penting dan
menarik perhatian masyarakat . Terutama penanganan perkara tindak tindak pidana
narkotika dan psikotropika, ilegal logging, terorisme, perbankan, ilegal
mining,money loundrying, human trafficking dan kejahatan trans – nasional
lainnya. Kepada jajaran bidang tindak pidana khusus, keberhasilan dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi harus diikuti pula dengan penyelamatan dan
pengembalian keuangan negara secara maksimal. Bila hal tersebut belum dapat
dilakukan, maka keberhasilan pemberantasan tindak pidana korupsi hanyalah
sebatas keberhasilan yang terfokus terhadap aspek pemidanaan saja.
Penulis sebagai bagian
anggota dari masyarakat sadar hukum berharap secara positif, di dalam mengemban
profesi, usaha – usaha yang dilakukan oleh jaksa bukan hanya untuk memenuhi
unsur – unsur yang terkandung dalam ketentuan hukum semata, melainkan apa yang
sesungguhnya benar – benar terjadi dan dirasakan langsung oleh masyarakat juga
didengar dan diperjuangkan. Inilah yang dinamakan pendekatan sosiologis. Memang
tidak mudah bagi jaksa untuk menangkap suara yang sejati yang muncul dari
sanubari anggota masyarakat secara mayoritas. Disamping masyarakat Indonesia
yang heterogen, kondisi yang melingkupinya pun sedang dalam keadaan yang tidak
sepenuhnya normal. Hal yang kerap memprihatinkan ialah rasa keadilan masyarakat
atau keadilan itu sendiri, tidak dapat sepenuhnya dijangkau perangkat hukum
yang ada. Pada ujungnya, keadilan itu bergantung pada aparat penegak hukum itu
sendiri, bagaimana mewujudkannya secara ideal. Disinilah maka penegakan hukum
itu menjadi demikian erat hubungannya dengan perilaku, khususnya aparat penegak
hukum, antara lain termasuk jaksa. Hukum bukan sesuatu yang bersifat mekanistis
yang dapat berjalan sendiri. Hukum bergantung pada sikap tindak penegak hukum.
Melalui aktivasi penegak hukum tersebut, hukum tertulis menjadi hidup dan
memenuhi tujuan – tujuan yang dikandungnya.
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Inkonsistensi
penegakan hukum diatas berlangsung terus menerus selama puluhan tahun.
Masyarakat sudah terbiasa melihat bagaimana law in action berbeda dengan law in
the book. Inkonsistensi penegakan hukum merupakan masalah penting yang harus
segera ditangani. Masalah hukum ini paling dirasakan oleh masyarakat dan
membawa dampak yang sangat buruk bagi kehidupan bermasyarakat. Persepsi
masyarakat yang buruk mengenai penegakan hukum, menggiring masyarakat pada pola
kehidupan sosial yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian
konflik, dan cenderung menyelesaikan konflik dan permasalahan mereka diluar
jalur. Cara ini membawa akibat buruk bagi masyarakat itu sendiri. Pemanfaatan
inkosistensi penegakan hukum oleh sekelompok orang demi kepentingannya sendiri,
selalu berakibat merugikan pihak yang tidak mempunyai kemampuan yang setara.
Akibatnya rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan tumbuh subur di masyarakat
Indonesia. Penegakan hukum yang konsisten harus terus di upayakan untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia.
B. SARAN
Berikut
saran yang saya berikan dalam upaya mengembalikan citra penegakan hukum dimata
masyarakat yaitu dengan melakukan pembenahan dan penataan terhadap sistem hukum
yang ada dengan cara:
1.
Struktur, terkait dengan struktur hukum maka perlu
dilakukan penataan terhadap institusi hukum yang ada seperti lembaga peradilan,
kejaksaan, kepolisian, dan organisasi advokat. Selain itu perlu juga dilakukan
penataan terhadap institusi yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap
lembaga hukum. Dan hal lain yang sangat penting untuk segera dibenahi terkait
dengan struktur sistem hukum di Indonesia adalah birokrasi dan administrasi
lembaga penegak hukum.
2.
Substansi, dalam hal substansi sistem hukum perlu
segera direvisi berbagai perangkat peraturan perundang – undangan yang menunjang
proses penegakan hukum di Indonesia. Misalnya, peraturan perundang – undangan
dalam sistem peradilan pidana di Indonesia seperti KUHP (Kitab Undang – Undang
Hukum Pidana) dan KUHAP (Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana) proses
revisi yang sedang berjalan saat ini harus segera diselesaikan. Hal ini
dikarenakan kedua instrumen hukum tersebut sudah tidak relevan dengan kondisi
masyarakat saat ini.
3.
Legal culture, untuk budaya hukum perlu dikembangkan
perilaku taat dan patuh terhadap hukum yang dimulai dari atas. Artinya apabila
para pemimpin dan aparat penegak hukum berperilaku taat dan patuh terhadap
hukum, dengan hal tersebut maka akan menjadi teladan bagi rakyat.
DAFTAR
PUSTAKA
- Ali,
Achmad (1999). Pengadilan Dan Masyarakat. Ujung Pandang: Hasanudin
University Press.
- Doyle,
Paul Johnson (1986). Teori Sosiologi Klasik Dan Modern. Alih bahasa oleh
Robert M.Z. Jakarta: Gramedia.
- Soemardi,
Dedi (1997). Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: IndHillCo.
- Syamsudin,
Amir (2008). Integritas Penegak Hukum: Hakim, Jaksa, Polisi, Dan Pengacara. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
- Rahardjo,
Satjipto (2003). Sisi – Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia. Medan:
Penerbit Buku Kompas.
- Lemek,
Jeremias (2007). Mencari Keadilan: Pandangan Kritis Terhadap Penegakan Hukum
DiIndonesia. Jakarta: Galang Press.
No comments:
Post a Comment