Pemerataan
pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia
sudah lama dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan
dan cita-cita yang ingin dijadikan kenyataan tersebut dapat diimplementasikan
melalui pembangunan ekonomi untuk dapat meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat. Oleh karena itu dalam Pembangunan Nasional intinya
adalah untuk kesejahteraan dan kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sampai sekarang pembangunan ekonomi belum banyak tersentuh dalam pembangunan,
sehingga perlu untuk ditingkatkan.
Pembahasan
Kebijakan Fiskal dalam Perspektif Teori.
Penerimaan
dan pengeluaran pemerintah diyakini dapat memberikan pengaruh terhadap kestabilan
perekonomian suatu negara. Pengeluaran pemerintah yang terlalu besar dapat menyebabkan
terjadinya defisit dalam APBN sehingga akan mempengaruhi variabel
lainnya. Untuk menjaga kestabilan ekonomi maka penerimaan dan
pengeluaran pemerintah perlu diseimbangkan. Maka timbulah gagasan untuk sengaja
mengubah-ubah pengeluaran dan penerimaan pemerintah guna mencapai
kestabilan ekonomi. Teknik mengubah pengeluaran dan penerimaan
pemerintah inilah yang kita kenal dengan kebijakan fiskal (Santosa dan
Lestari, 2008).
Pada awal sebelum terjadinya depresi ekonomi
tahun 1930, pengeluaran pemerintah hanya dianggap sebagai alat untuk
membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah dan dinilai berdasarkan manfaat
langsung yang dapat ditimbulkannya tanpa melihat pengaruhnya terhadap
pendapatan nasional. Demikian pula halnya dengan pajak. Pajak hanya
dianggap sebagai sumber pembiayaan pengeluaran negara dan belum
diketahui pengaruhnya terhadap pendapatan nasional. Akibatnya dalam masa
depresi, di mana penerimaan pemerintah menurun, maka pengeluaran pemerintah
harus dikurangi pula. Hal ini justru berakibat pada semakin rendahnya
pendapatan nasional serta semakin lesunya perekonomian. Kalau timbul deflasi
atau inflasi, kebijakan yang dipercayai untuk menanggulanginya adalah kebijakan
moneter lewat Bank Sentral dan bukan kebijakan fiskal (Suparmoko, 2000).
Pengaruh Kebijakan Fiskal dari Sisi
Permintaan.
Pengaruh kebijakan fiskal dari sisi permintaan
ini lebih lanjut diklasifikasikan berdasarkan perspektif mainstream utama
dalam teori ekonomi, yaitu Keynesian dan Non-Keynesian.
Pendekatan Keynesian.
Model Keynesian yang paling sederhana mengasumsikan
adanya kekakuan harga (price rigidity) dan perekonomian mengalami
kelebihan kapasitas (excess capacity), sehingga output ditentukan
oleh permintaan agregat (aggregate demand). Dalam model ini, ekspansi
fiskal mempunyai efek pengganda (multiplier effect) terhadap permintaan
agregat dan output. Ekspansi fiskal mendorong peningkatan permintaan agregat
melalui salah satu dari dua saluran, yaitu: Pertama, apabila pemerintah
meningkatkan belanja dan penerimaan pajak diasumsikan tetap sama, maka
permintaan agregat akan bertambah secara langsung. Kedua, apabila
pemerintah mengurangi pajak (tax cuts) atau menaikkan transfer payments,
maka pendapatan masyarakat yang dapat dibelanjakan (disposable income)
akan bertambah, dan masyarakat cenderung menambah konsumsi. Peningkatan
konsumsi yang peka (responsiveness) terhadap perubahan pendapatan ini
mempengaruhi pengganda Keynesian dengan nilai lebih besar dari satu, dan dengan
kecenderungan meningkat. Nilai pengganda Keynesian lebih besar untuk
peningkatan belanja dibandingkan untuk pemotongan pajak.
Apabila peningkatan belanja diimbangi dengan
peningkatan pajak, maka hasilnya adalah nilai pengganda anggaran berimbang (balanced
budget multiplier) persis sama dengan satu. Sementara itu, dalam model
Keynesian yang diperluas (model IS-LM standar) dikemukakan bahwa kebijakan
fiskal juga dapat mengubah komposisi permintaan agregat. Apabila pemerintah
menjalankan defisit anggaran, sejumlah pembiayaan akan dipenuhi dengan
menerbitkan obligasi, sehingga pemerintah berkompetisi dengan sektor swasta
untuk mendapatkan dana masyarakat. Hal ini akan mendorong naiknya suku bunga
dan memungkinkan terjadinya "crowding out" investasi swasta.
Pendekatan Non-Keynesian.
Pendekatan ini berasal dari model Neo-klasik yang
menyoroti kelemahan-kelemahan pendekatan Keynesian. Meskipun model Neo-klasik
memberikanpenekanan pada efek kebijakan fiskal dari sisi penawaran (supply-side
effects), namun ada beberapa karakteristik model ini yang memiliki implikasi
terhadap permintaan. Menurut model Neo-klasik, apabila konsumen berorientasi ke
masa depan dan sangat sadar tentang konstrain anggaran antarwaktu pemerintah (government's
intertemporal budget constraint), maka konsumen beranggapan bahwa
pemotongan pajak sekarang akan dibiayai melalui utang oleh pemerintah.
Akibatnya di masa yang akan datang pajak yang
dikenakan lebih tinggi. Argumen ini dikenal dengan Ricardian equivalence.
Dengan demikian, antara pajak dan utang memiliki Ricardian equivalence.
Ricardian equivalence yang sempurna menunjukkan bahwa penurunan tabungan
pemerintah akibat pemotongan pajak akan diimbangi dengan tabungan swasta yang
lebih tinggi, dan permintaan agregat tidak terpengaruh. Pengganda fiskal dalam
kasus ini adalah nol.
Fokus dalam Ricardian equivalence adalah pada
efek pemotongan pajak lump-sum untuk arah belanja pemerintah tertentu. Dengan
pajak proporsional atau progresif, pemotongan pajak akan mempengaruhi
pendapatan permanen. Apabila ekspansi fiskal (peningkatan belanja pemerintah),
maka dampaknya terhadap pendapatan permanen tergantung pada bagaimana ekspansi
fiskal dibiayai dimasa yang akan datang. Peningkatan belanja pemerintah yang bersifat
temporer tidak akan berpengaruh karena diimbangi dengan pemotongan belanja dimasa
mendatang. Namun demikian, peningkatan belanja pemerintah yang dibiayai melalui
pajak yang lebih tinggi dimasa mendatang akan menyebabkan penurunan pendapatan
permanen dan konsumsi
Pengaruh Kebijakan Fiskal dari Sisi
Penawaran.
Selain pengaruhnya terhadap permintaan agregat dan tabungan,
kebijakan fiskal juga mempengaruhi perekonomian melalui perubahan insentif.
Pengenaan tarif pajak marjinal yang tinggi atas pendapatan berpotensi
mengurangi insentif untuk menghasilkan pendapatan.
Para ekonom "supply-side"
menyatakan bahwa pengurangan tarif pajak akan berpengaruh besar terhadap jumlah
tenaga kerja yang ditawarkan, dan juga terhadap output. Pengaruh insentif
terhadap pajak juga memainkan peranan pada sisi permintaan. Kebijakan kredit
pajak
Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter.
Keberadaan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter tidak
dapat dipisahkan untuk mencapai target-target ekonomi yang telah ditetapkan. Perpaduan
antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter sangat diperlukan untuk
menetapkan dan mencapai target-target moneter dan defisit fiskal secara
konsisten dalam rangka mencapai pembangunan ekonomi yang cukup tinggi dan
stabil. Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan negara
dan pengeluaran negara. Selain pengaruh dari selisih antara penerimaan dan
pengeluaran (defisit atau surplus), perekonomian juga dipengaruhi oleh jenis
sumber penerimaan Negara dan bentuk kegiatan yang dibiayai pengeluaran negara. Dari
perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara tersebut akan diperoleh besarnya surplus
atau defisit APBN. Jika terdapat surplus dalam APBN akan menimbulkan efek kontraksi
dalam perekonomian yang besarnya tergantung pada besarnya surplus tersebut. Pada
umumnya surplus tersebut dapat digunakan sebagai cadangan atau membayar utang pemerintah
(prepayment). Apabila terjadi defisit maka defisit tersebut dapat
dibiayai dengan pinjaman luar negeri (official foreign borrowing) atau
dengan pinjaman dalam negeri.
Pinjaman dalam negeri dapat diperoleh dalam bentuk pinjaman
perbankan dan non perbankan yang mencakup penerbitan obligasi negara (government
bonds) dan privatisasi (Usman, 2004). Defisit APBN berpotensi
menimbulkan efek ekspansi dalam perekonomian. Jika defisit APBN dibiayai dengan
pinjaman luar negeri maka hal ini tidak akan menimbulkan tekanan inflasi jika
pinjaman tersebut digunakan untuk membeli barang-barang impor, namun jika pinjaman
luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barangdan jasa didalam negeri maka
pembiayaan defisit dengan memakai pinjaman luar negeri akan menimbulkan tekanan
inflasi. Di sisi lain, pembiayaan defisit APBN dengan penerbitan obligasi
negara akan menambah jumlah uang beredar dan menimbulkan tekanan inflasi.
Sementara itu kebijakan moneter pada dasarnya
digunakan untuk mencapai enam tujuan pokok yaitu menciptakan kesempatan kerja (high
employment); menciptakan pertumbuhan ekonomi (economic growth);
stabilisasi harga (price stability); stabilisasi tingkat bunga (interest
rate stability); stabilisasi di pasar keuangan (stability of financial
market) dan stabilisasi di pasar uang (stability in foreign exchange
markets) (Mishkin, 1995). Kebijakan moneter juga dipakai untuk menjaga
agar likuiditas dalam perekonomian berada dalam jumlah yang “tepat” sehingga
dapat melancarkan transaksi perdagangan tanpa menimbulkan tekanan inflasi
(Djojosubroto, 2004). Umumnya pelaksanaan pengaturan jumlah likuiditas dalam
perekonomian ini dilakukan oleh Bank Sentral melalui berbagai instrumen .
Kesimpulan
Aplikasi kebijakan
fiskal dan kebijakan moneter dalam perkembangannya melahirkan suatu bauran
kebijakan (policy mix) yang kemudian menyebabkan berkembangnya
kajian-kajian tentang koordinasi kebijakan fiskal dan moneter. Beberapa kajian
tentang koordinasi kebijakan tersebut menemukan bahwa, dalam jangka panjang
kebijakan fiskal dan moneter tidak bertentangan satu sama lain dalam mencapai
pertumbuhan ekonomi. Pada kondisi ini tidak diperlukan adanya koordinasi kebijakan (Hagen dan Mundshenk,2003).
Dalam jangka pendek, tidak adanya koordinasi antara kebijakan fiskal dan
kebijakan moneter akan menyebabkan efektivitas kebijakan menjadi berkurang
(Giavazzi,2003).
Di Indonesia, dalam aktivitasnya
kadangkala dua kebijakan ini (kebijakan moneter dan kebijakan fiskal) berjalan
tanpa terkoordinasi dengan baik dan menimbulkan ketidak seimbangan dalam perekonomian.
Contohnya antara lain adalah; hyperinflasi pada tahun 1965 yang
disebabkan oleh ekspansi fiskal dan ekspansi moneter yang tidak terkendali,
kesenjangan antara peran sektor pemerintah dan peran sektor swasta pada saat boom
minyak pada era 1970-an, dan terakhir adalah kesenjangan antara pertumbuhan
sektor riil dan sektor moneter pada kurun tahun 1980-an pasca liberalisasi
sektor keuangan hingga pasca krisis moneter tahun 1997.
No comments:
Post a Comment