Wednesday 26 February 2014

NEGARA SEBAGAI KONSEP POLITIK



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Ilmu politik adalah salah satu ilmu tertua dari berbagai cabang ilmu yang ada. Sejak orang mulai hidup bersama, masalah tentang pengaturan dan pengawasan dimulai. Sejak itu para pemikir politik mulai membahas masalah-masalah yang menyangkut batasan penerapan kekuasaan, hubungan antara yang memerintah serta yang diperintah, serta sistem apa yang paling baik menjamin adanya pemenuhan kebutuhan tentang pengaturan dan pengawasan.
Ilmu politik diawali dengan baik pada masa Yunani Kuno, membuat peningkatan pada masa Romawi, tidak terlalu berkembang di Zaman Pertengahan, sedikit berkembang pada Zaman Renaissance dan Penerangan, membuat beberapa perkembangan substansial pada abad 19, dan kemudian berkembang sangat pesat pada abad 20 karena ilmu politik mendapatkan karakteristik tersendiri. Ilmu politik sebagai pemikiran mengenai Negara sudah dimulai pada tahun 450 S.M. seperti dalam karya Herodotus, Plato, Aristoteles, dan lainnya. Di beberapa pusat kebudayaan Asia seperti India dan Cina, telah terkumpul beberapa karya tulis bermutu. Tulisan-tulisan dari India terkumpul dalam kesusasteraan Dharmasatra dan Arthasastra, berasal kira-kira dari tahun 500 S.M. Di antara filsuf Cina terkenal, ada Konfusius, Mencius, dan Shan Yang(±350 S.M.).
Di dalam konsep politik, negara mempunyai tugas yang penting yaitu mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang timbul dalam masyarakat dan bertentangan satu sama lain. Di samping itu, negara juga mempunyai tugas untuk mengorganisasi dan mengintegrasi aktivitas induvidu atau orang perorang dan golongan agar dapat dicapai tujuan-tujuan seperti apa yang mereka cita-citakan. Bagian yang paling penting adalah pemilikan kekuasaan yang sangat besar. Jadi negara memiliki monopoli kekerasan yang absah dan menjamin pelaksanaan hukum di seluruh wilayah teritorialnya.
Partisipasi politik masyarakat merupakan salah satu bentuk aktualisasi dari proses demokratisasi. Keinginan ini menjadi sangat penting bagi masyarakat dalam proses pembangunan politik bagi negara-negara berkembang, karena di dalamnya ada hak dan kewajiban masyarakat yang dapat dilakukan salah satunya adalah berlangsung dimana proses pemilihan kepala negara sampai dengan pemilihan walikota dan bupati dilakukan secara langsung. Sistem ini membuka ruang dan membawa masyarkat untuk terlibat langsung dalam proses tersebut.

B.   Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penulis akan memberikan batasan pembahasan dengan poin – poin bahasan sebagai berikut :
1.    Bahasan negara sebagai konsep politik.
2.    Konsep politik yang ada di negara indonesia ( Demokrasi )


C.   Tujuan penulisan makalah
            Selain untu melengkapi tugas mata kuliah , makalah ini di buat bertujuan untuk memperkenalkan Ilmu Politik , dan keberadaan negara sebagai konsep politik secara menyeluruh dan memberikan pemahaman dasar-dasar ilmu politik serta berbagai masalah yang erat kaitannya dengan ilmu tersebut serta untuk memahami ide-ide politik atau pemikiran politik secara umum yang ada pada jaman klasik, jaman baru, sampai pada pemikiran politik dewasa ini. Setiap pemikir politik dan ide pemikirannya dikupas dan dihubungkan dengan pemikiran politik dewasa ini.



BAB II
PEMBAHASAN


A.   Negara sebagai Konsep Politik

1.    Pengertian Negara sebagai Konsep Politik
Di dalam konsep politik, negara mempunyai tugas yang penting yaitu mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang timbul dalam masyarakat dan bertentangan satu sama lain. Di samping itu, negara juga mempunyai tugas untuk mengorganisasi dan mengintegrasi aktivitas induvidu atau orang perorang dan golongan agar dapat dicapai tujuan-tujuan seperti apa yang mereka cita-citakan. Bagian yang paling penting adalah pemilikan kekuasaan yang sangat besar. Jadi negara memiliki monopoli kekerasan yang absah dan menjamin pelaksanaan hukum di seluruh wilayah teritorialnya.
Beberapa pandangan tentang negara sebagai konsep politik dikemukakan oleh Arif Budiman (melalui Cholisin, 2007 : 57-58) sesuai pendapat para ahli yaitu Plato, Aristoteles, Max Weber, dan Hegel. Menurut Plato, kekuasaan yang besar pada negara merupakan hal yang sepatutnya. Individu akan menjadi liar, tidak dapat dikendalikan, bila negara tidak memiliki kekuasaan yang besar. Negara harus menjinakkan mereka dan mengajarkan nilai-nilai moral dan rasional. Menurut Aristoteles, negara itu juga menguasai manusia, keseluruhan selalu menentukan bagian-bagiannya. Jadi disini tampak pula penglihatan yang universal dan bukan individualistis, dimana manusia pertama itu tidak dipandang sebagaimanusia pribadi, melainkan sebagai warga suatu negara.
Sedangkan Weber, menyatakan negara yang merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap warganya. Hegel mendukung pemberian kekuasaan yang besar kepada negara. Ia berpendapat bahwa negara modern memiliki hak untuk memaksakan keinginannya kepada warganya Karena negara mewakili umum, ia menjadi menifestasi dari sesuatu yang ideal dan universal. Dengan mematuhi negara, individu yang menjadi warga negara tersebut sedang dibebaskan dari kepicikannya yang hanya memperjuangjkan kepentingan dirinya yang sempit.
Pendapat lain dikemukakan oleh Karl Marx bahwa yang menyatakan negara adalah sistem dominasi politik yang abstrak,irasional yang hanya menolak hakikat sosial manusia dan mengasingkannya dari keterlibatan murni dalam kehidupan orang banyak. Bahkan elite negara merupakan representasi kepentingan pribadi. Dengan kata lain,Marx memandang negara lebih merupakan instrumen kekuasaan kelas. Negara lebih menekankan aspek penggunaan kekuatan terorganisasi untuk memecahkan kontradiksi-kontradiksi kelas di dalam suatu masyarakat.
Negara sebagai konsep politik telah terwujud apabila telah dipenuhinya 3 unsur konstitutif sebagai kesatuan politik yaitu penduduk,wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat.(Isjawara,1980:98). Negara yang telah memiliki ketiga unsur konstitutif tersebut dipandang sebagai kesatuan politik yang konkret,sebagaimana negara itu terjelma dalam sejarah sebaga asosiasi manusia.Jadi bukan negara sebagai idea,tetapi terlepas dari kenyataan sosialnya.

2.    Sifat Sifat Negara
Negara mempunyai sifat-sifat khusus yang merupakan manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya dan hanya terdapat pada negara saja dan tidak terdapat pada asosiasi atau organisasi lainnya.Umumnya,dianggap bahwa setiap negara mempunyai sifat memaksa,sifat memonopoli, dan mencakup semua.

a.    Sifat Memaksa
Agar peraturan perundang-undangan ditaati dan penertiban dalam masyarakat tercapai serta timbulnya anarki dapat dicegah,maka negara memiliki sifat memaksa dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik secara legal. Sarana untuk mencapai itu adalah polisi,tentara, dan sebagainya. Organisasi dan asosiasi yang lain dari negara juga mempunyai aturan,akan tetapi aturan yang dikeluarkan oleh negara lebih mengikat.
Di dalam masyarakat homogen,dan didujung adanya konsensus nasional yang kuat mengenai tujuan-tujuan bersama,biasanya sifat paksaan ini akan lebih tampak.Dalam hal demikian,di negara-negara demokratis tetap disadari bahwa paksaan hendaknya dipakai seminimal mungkin dan sedapat-dapatnya dipakai persuasi(meyakinkan). Lagipula pemakaian paksaan secara ketat selain memerlukan organisasi yang ketat juga memerlukan biaya yang tinggi.
Unsur paksa dapat dilihat misalnya pada ketentuan tentang pajak. Setiap warga negara harus membayar pajak dan orang yang menghindari kewajiban ini akan dikenai sanksi,disita miliknya,didenda, atau di beberapa negara malah dikenai hukuman kurungan.
b.    Sifat Memonopoli
Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama dari masyarakat. Dalam rangka ini negara dapat menyatajan bahwa suatu aliran kepercayaan atau aliran politik tertentu dilarang hidup dan disebarluaskan,oleh karena itu dianggap bertentangan dengan tujuan-tujuan masyarakat.
c.    Sifat Mencakup Semua (all-encompasssing, all-embracing)
Semua peraturan perundang-undangan (misalnya keharusan membayar pajak) berlaku untuk semua orang tanpa kecuali. Keadaan demikian memang perlu,sebab kalau seseorang dibiarkan berada di luar lingkup aktivitas negara,maka usaha nagara ke arah tercapainya masyarakat yang dicita-citakan ajan gagal. Lagipula menjadi warga negara tidak berdasarkan kemauan sendiri (involuntary membership) dan hal ini berbeda dengan asosiasi lain di mana keanggotaan bersifat sukarela.


3.    Peran Negara
Rockman (Rusli Karim, 1997 : 22) mengajukan tiga konsepsi tentang peran negara yaitu satu sistem pembuatan kebijakan otoritatif (decision making state), pemberi barang kolektif dan distribusi (production state) dan penyimpan, pencipta dan perantara kepentingan masyarakat (intermediary state). Khusus untuk reproduksi politik, Gana mengajukan tiga fungsi negara (Rusli Karim, 1997 : 26) yaitu :
a.    Bertindak sebagai penengah dalam perbedaan-perbedaan politik antara kepentingan-kepentingan nasional yang bersintesis dan kepentingan borjuis asing dan negara mereka
b.    Penjamin kohesi struktur sosial yang selalu terancam oleh dinamikanya sendiri.
c.    Bertindak sebagai penengah dalam perbedaan politik antara birokrasi negara yang tumbuh dan kelas-kelas yang lain.
Luas sempitnya peranan negara tergantung dari perspektif yang digunakan. Menurut perspektif statis (serba negara), negara adalah struktur dominan di seluruh dunia. Oleh karena itu, peran negara memiliki kekuasaan yang sangat luas dan menciptakan kegiatan yang luas. Sebaliknya, menurut perspektif sosial, kekuasaan negara tidak begitu luas, karena terbagi-bagi dan tidak kohesif, terdesentralisasi, dan pluralistik.
Kemudian jika dilihat dari perspektif negara akan berpihak kepada kepentingan siapa, ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan peran negara. Teori-teori tersebut antara lain teori Marxis (negara sebagai alat khas yang dominan), teori Pluralis (negara alat semua kelompok), teori Organis (negara sebagai lembaga di atas masyarakat) dan teori elit kekuasaan.
a.    Teori Marxis
Negara hanya merupakan sebuah panitia yang mengelola kepentingan kaum borjuis. ini berarti negara sebenarnya tidak memiliki kekuasaan nyata. Kekuasaan nyata ada pada kelompok atau kelas yang dominan dalam masyarakat tersebut. Kelompok ini adalah kaum borjuis dalam sistem kapitalis, kaum bangsawan dalam sistem feodal, kaum buruh dalam sosialis. Negara sekedar alat dari kelas-kelas tersebut.
Ralf Dahrendorf (dalam Margaret M. Paloma 1994 : 133-135) yang merupakan salah satu tokoh teori konflik Non Marxian, mengkritik pendapat Marx tersebut. Menurut Dahrendorf, bahwa kaum borjuis dalam masyarakat kapitalis dewasa ini tidak lagi menjadi kelompok dominan. Sebab sebagai akibat perubahan sosial, telah terjadi proses dekomposisi modal dan tenaga kerja. Dekomposisi ini melahirkan apa yang dikenal dengan kelas menengah dan hal ini tidak pernah diperkirakan oleh Marx.
Selanjutnya, Dahrendorf mengatakan bahwa ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi Marx sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf, hubungan-hubungan kekuasaan (authority) yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur-unsur bagi kelahiran kelas.
Dengan demikian, pada dasarnya tetap terdapat dua sistem kelas sosial (dalam perkumpulan khusus) yaitu meraka yang berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang berpartisipasi melalui penundukan.
Secara demikian, perjuangan kelas yang dibahas Dahrendorf lebih berdasarkan kekuasaan daripada pemilihan sarana-sarana produksi. Dalam mesyarakat industri modern, pemilihan sarana produksi tidak sepenting mereka yang melaksanakan pengendalian atas sarana itu.

b.    Teori Pluralis
Dalam pandangan teori pluralis, negara merupakan alat dari masyarakat. Inilah kekuatan eksternal yang mengatur negara. Menurut kaum pluralis, dalam masyarakat ada banyak kelompok yang berbeda kepentingannya. Tidak ada kelompok yang terlalu dominan. Untuk menjadi mayoritas, kepentingan yang beragam ini melakukan kompromi.
Arif Budiman (1997) dalam konteks teori pluralis memberikan contoh sebagai berikut. Misalnya, kaum pengusaha menginginkan pajak yang ringan. Sedangkan kaum pekerja menginginkan pajak yang tinggi bagi orang yang kaya, supaya negara bisa membiayai proyek-proyek sosialnya. Kemudian ada lagi kelompok imigran yang menginginkan supaya proyek-proyek sosial bisa membantu mereka juga. Semua kepentingan itu harus dikompromikan. Politikus yang bisa membuat formula dimana kepentingan sebagian besar masyarakat terpenuhi, dialah yang akan mendapat kepercyaan untuk memimpin negara. Dialah yang menjadi dominan, karena bisa mengkompromikan berbagai kepentingan kelompok yang ada di masyarakat.

c.    Teori Organis
Teori organis bersumber pada pandangan Hegel yang menyatakan bahwa negara bukan merupakan alat dari masyarakatnya. Negara merupakan alat bagi dirinya sendiri. Negara mempunyai misinya sendiri yakni misi sejarah untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik daripada yang ada sekarang. Karena itulah, negara harus dipatuhi oleh warganya, bukan sebaliknya. Negara tahu apa yang baik bagi masyarakat secara keseluruhan. Pandangan ini merupakan dasar bagi terbentuknya negara yang kuat yang bersifat otoriter bahkan totaliter.

d.    Teori Elit Kekuasaan
Menurut C. Right Mills (Paloma, 1994 : 324) melihat elit kekuasaan sebagai suatu kelas sosial dari orang-orang yang memiliki asal usul dan pendidikan yang sama yang memiliki dasar-dasar sosial dan psikologis yang menyatukan mereka atas kenyataan bahwa mereka adalah tipe sosial yang serupa dan menjurus pada fakta kemudian yang berbaur.
Pandangan Mills dikembangkan dalam Teori Elit Kekuasaan. Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa meskipun masyarakat terdiri dari bermacam-macam kelompok yang pluralis, tetapi kenyataannya kelompok elite penguasa datag hanya dari kelompok masyarakat tertentu. Secara umum, semua orang memang bisa menempati jabatan negara, jabatan militer, atau posisi bisnis kelas. Tetapi dalam kenyataan, jabatan-jabatan itu diduduki oleh orang-orang dari kelompok tertentu tersebut.
Akan tetapi, terlepas dari keempat fungsi teori yang ada, negara memiliki fungsi:
a.    Melaksanakan ketertiban (law and order) untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, maka negara harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai ”stabilisator”.
b.    Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
c.    Pertahanan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar.
d.    Menegakkan keadilan.
Menurut Charles E. Merrian\m, 5 fungsi negara yaitu :
a.    Keamanan ekstern
b.    Ketertiban intern
c.    Keadilan
d.    Kesejahteraan umum
e.    Kebebasan.

4.    Legitimasi Kekuasaan Negara
Secara ideal, negara mestinya berpihak kepada kepentingan rakyat, tetapi kenyataanya justru lebih berpihak pada kelompok yang dominan. Upaya untuk memperoleh legitimasi kekuasaan lewat kekuasaan militer, hanya bersifat jangka pendek. Juga tidak menguntungkan karena rakyat menjadi takut yang membuat kondisi negara menjadi tidak sehat, Menurut teori kekuasaan hegemonic, rakyat akan menerima dominasi kelompok tertentu jika mampu mengartikulasikan kepentingan borjuisi sebagai kepentingan umum.
Teori Legitimasi :
a)    Teori Pembenaran
1.    Teori teokrasi
1)    Teokrasi langsung àorang yang berkuasa dipandang sebagai Tuhan.
2)    Teokrasi tidak langsung à orang yang berkuasa mempunya kekuasaan karena mendapat izin Tuhan.
b)    Teori kekuasaan
Bahwa dasar kekuasaan itu meliputi keunggulan fisik, materi, dan rohani.
c)    Teori hukum
1)    Teori kekeluargaan
2)    Teori kebendaan
3)    Teori dualistis
d)    Teori Kedaulatan
1.    Teori Kedaulatan Tuhan
Kekuasaan tertinggi terletak di tangan Tuhan. Penganutnya antara lain Agustinus, Thomas Aquinas, dan Marsillius.
2.    Teori Kedaulatan Negara
Menyatakan bahwa raja merasa tidak bertanggung jawab kepada siapapun selain kepada Tuhan. Akibatnya kekuasaan mutlak untuk menetapkan agama bagi warga negara ada pada negara.
3.    Teori Kedaulatan Hukum
Dipelopori oleh Krabe yang berpendapat bahwa kekuasaan tertinggi terletak pada hukum yang tidak berpribadi, artinya sumber hukum itu berasal dari rasa hukum yang terdapat dalam setiap individu.
4.    Teori Kedaulatan Raja
Mengajarkan bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi ada pada raja.
5.    Teori Kedaulatan Rakyat
Mengajarkan bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi ada pada rakyat.


B.   Demokrasi

1.    Konsep Demokrasi
Joseph Schumpeter (George Sorenson, 2003 dan Hasnan Habib, 1997 : 22) mengartikan demokrasi sebagai kompetisi untuk memperoleh suara rakyat. Robert Dahl (Ramlan Surbakti, 1996 : 10) mengajukan konsep ”demokrasi polyarchi”. Konsep demokrasi polyarchi melibatkan dua dimensi yaitu perlombaan dan peran serta. Prosedur macam ini mengasumsikan adanya kebebasan bicara, berpendapat, berkumpul, dan berserikat sehingga pemilu dapat diselenggarakan.
Ciri-ciri kekuasaan dalam demokrasi (Hasnan, 1997 : 24-27)
1.    Kekuasaan berada pada pejabat yang terpilih.
2.    Kekuasaan eksekutif dibatasi konstitusi dan bertanggung jawab kepada lembaga pemerintah yang lain.
3.    Hasil pemilu tidak ditentukan sebelumnya, pihak oposisi harus memiliki peluang untuk menang.
4.    Pluralisme diakui dan tidak boleh dilarang.
5.    Adanya sumber-sumber alternatif informasi seperti media pers yang bebas.
6.    Perorangan memiliki kebebasan yang substansial mengenai kepercayaan, pendapat, berdiskusi, berbicara, publikasi, berkumpul, dan demonstrasi.
7.    Adanya persamaan hukum bagi warga negara.
8.    Rule of law melindungi warga negara dari kesewenag-wenangan.
Prinsip demokrasi menurut pandangan Lyman Tower Sargent (1986 : 43) terdapat unsur-unsur (prinsip-prinsip) demokrasi yaitu :
  1. Keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik.
  2. Tingkat persamaan tertentu diantara warga negaranya.
  3. Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh para warga negaranya.
  4. Suaatu sistem perwakilan.
  5. Suatu sistem pemilihan kekuasaan mayoritas.
Menurut Dahl (Sorenson, 2003) terdapat tiga prinsip demokrasi yakni :
  1. Kompetisi
Yakni kompetisi yang luas dan bermakna diantara individu dan kelompok organisasi (khususnya partai) pada seluruh kekuasaan pemerintah yang efektif dalam jangka waktu yang teratur danmeniadakan kekerasan.,
  1. Partisipasi
Yakni tingkat partisipasi yang inklusif dalam pemilihan pemimpin dan kebijakan, paling tidak melalui pemilihan yang bebas dan teratur, tidak ada kelompok sosial (dewasa) utama yang disingkirkan.
  1. Kebebasan politik dan sipil
Meliputi kebebasan berpendapat, kebebasan pers, mendirikan dan menjadi anggota organisasi yang cukup untuk memastikan integrasi partisipasi dan kompetisi politik.

Prinsip demokrasi secara umum adalah :
a.    Persamaan
1.    Persamaan politik (political equality)
Yakni hak yang sama bagi semua warga negara untuk berpartisipasi dalam segala urusan negara. Contohnya hak suara.
Persamaan hak suara menuntuk hak-hak sebagai berikut :
a)    Setiap individu harus memiliki akses yangmudah dan pantas ke TPS.
b)    Setiap individu bebas menentukan peilihan sesuai keinginannya
c)    Setiap suara harus dinilai sama pada saat perhitungan
2.    Persamaan di muka hukum
Maksudnya setiap warga negara sama di hadapan hukum dan haknya diberikan tanpa diskriminasi untuk mendapatkan perlindunganhukum yang sama.
3.    Persamaan kesempatan
Hal ini terkait dengan stratifikasi sosial dan sistem mobilitas yang berprinsip :
a)    Tiap individu dalam masyarakat dapat mengalami penurunan ata peningkatan dalam sistem kelas.
b)    Tidak ada halangan yang akan membatasi seseorang untuk mencapai kemampuan yang ingin diraihnya.
4.    Persamaan ekonomi
Tiap individu dalam masyarakat harus memiliki jaminan ekonomi karena tanpa hal tersebut, demokrasi akan sulit dicapai.
5.    Persamaan sosial
Hal ini mengacu pada tidak adanya perbedaan status kelas yang telah dan masih dikenal diseluruh masyarakat.

b.    Kebebasan
Mengacu pada kemampuan bertindak tanpa pembatasan-pembatasan atau dengan pengekangan yang terbatas pada cara-cara khusus. Kebebasan cenderung mengacu pada hak yaitu kebebasan yang mendapat jaminan hukum.
Mengenai demokrasi, Aristoteles dalam buku Politics (340) menyatakan : ”Jika kebebasan dan kesamaan sebagaimana menurut pendapat sebagian orang dapat diperoleh terutama dalam demokrasi, maka kebebasan dan kesamaan itu akan dapat dicapai apabila semua orang tanpa kecuali ikut ambil bagian sepenuhnya dalam pemerintahan.
Menurut Meriam Budiharjo, ada beberapa istilah mengenai demokrasi. Ada demokrasi konstitusionil, parlementer, terpimpin, pancasila, rakyat, dan sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah demokrasi yang menurut asal kata berarti rakyat berkuasa (demos berarti rakyat dan kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa). Menurut UNESCO demokrasi adalah nama paling baik dan wajar untuk semua sistem politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung yang berpengaruh. Tetapi UNESCO juga menarik kesimpulan bahwa ide demokrasi dianggap ambigu atau berarti dua yaitu mengenai lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan ide atau mengenai keadaan kultural serta historis yang mempengaruhi istilah, ide, dan praktik demokrasi.

2.    Varian Demokrasi
1. Penggolongan demokrasi atas dasar bidang kehidupan
a)   Demokrasi politik
Menurut Dahl, sifat dasar demokrasi ada pada responsifitas pemrintah terhadap preferensi warga negaranya yang setara secara politis. Menurut Henry B. Maya, sistem politik yang demokratis ialah dimana kebijakan umum ditemtukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Menurut Jurnal Ilmu Politik, demokrasi selalu merupakan gerakan politik yang dilahirkan oleh kekuatan kelas dan kekuatan sosial yang memperjuangkan tujuan-tujuan khusus.
Menurut Koentjoro Poerbopranoto, dalam bukunya Sistem Pemerintahan Demokrasi, menyatakan demokrasi adalah suatu pemerintahan negara dimana dalam pokoknya semua orang (rakyat) adalah berhak sama untuk memerintah dan juga untuk diperintah. Duvenger menyatakan demokrasi adalah cara pemerintah dimana golongan yang memerintah dan yang diperintah itu terpisah-pisah. Schumpeter menyatakan bahwa sistem demokrasi ini pada asasnya ialah mencapai suatu keputusan hal keprajaan, dengan memilih suatu badan perwakilan rakyat agar dengan jalan ini masyarakat menentukan kehendak rakyat.
O Donnel (1971) menyatakan demokrasi menekankan pentingnya kedudukan warga negara dalam kaitannya dengan tanggung jawab urusan negara. Herbeth Feith melihat tuntutan prinsip demokrasi sebagai kebebasan warga negara dan hak-haknya dalam kehidupan bernegara. Dahl justru mengatakan bahwa definisi demokrasi yang menekankan toleransi penguasa pada partai oposisi. Diamond, Lipset, dan Schumpeter mengatakan agar definisi demokrasi lebih dipersempit dengan memisahkan dimensi politik dari dimensi sosial ekonomi.
Varma menyatakan bahwa demokrasi memiliki arti klasik dan elitis. Demokrasi klasik adalah suatu proses yang berkesinambungan dimana hak-hak politik dan kekuatan untuk mempengaruhi keputusan atas kebijakan sosial secara progresif diperluas pada kelompok-kelompok penduduk tertindas. Demokrasi elitis adalah penciptaan iklim psikologis yang kurang lebih dapat secara spontan memotivasi perubahan dan kemajuan. Demokrasi politik merupakan demokrasi primer, dan itulah mengapa demokrasi pertama dan terutama adalah demokrasi politk.
b)   Demokrasi Ekonomi
Merupakan demokrasi yang tujuan kebijakan primernya adalah pembagian kembali kekayaan dan pemerataan kesempatan ekonomi. Dalam arti ini mengandalkan demokrasi politik sebagai umpan balik terakhir suatu bentuk demokrasi pemerintahan.
c)   Demokrasi Sosial
Demokrasi ini merupakan suatu keadaan dan gaya masyarakat yang endogen atau persamaan perlakuan dan hormat terhadap setiap orang. Ciri-ciri demokrasi rakyat adalah
i)      Dictatorship of a majority over a minority
ii)     Titik berat pada kemajuan ekonomi dan sosial, kerena itu juga disebut demokrasi sosial.
Demokrasi barat memiliki ciri :
i)      Bersifat liberal
ii)     Dictatorship of a majority over a minority (demokrasi borjuis)
d)   Demokrasi Sosial
Demokrasi industrial merupakan demokrasi dalam pabrik-pabrik. Dalam praktik cita-cita demokrasi industrial hanya terwujud pada tingkat mikro sejumlah rencana mengenai partisipasi buruh dalam manajemen.
2. Penggolongan demokrasi berdasarkan jaminan kebebasan dan persamaan
a)    Madison Democracy
Tujuannya adalah republik yang bebas, tokohnya Montesquieu
b)    Populistic Democracy
Diidentikkan dengan persamaan politik, kedaulatan rakyat, dan pemerintahan oleh mayoritas. Tokohnya J.J. Rosseau dan Jefferson.
c)    Demokrasi Poliarkis
Adanya peraturan suara terbanyak dan toleransi terhadap minoritas
3. Demokrasi Langsung dan Perwakilan
a)    Demokrasi Langsung
Demokrasi ini hanya hanya dikenal oleh negara-negara berbentuk polis dimana partisipasi warga negara secara langsung. Ciri-cirinya adalah pertisipasi warga negara dilakukan secara langsung tanpa perwakilan/delegasi kekuasaan seperti negara-negara modern sekarang.
b)    Demokrasi Perwakilan
Terdapat adanya partai dan fungsi yang perlu adanya kontrol dan tanggung jawab agar pelaksanaannya dapat efektif
4. Penggolongan berdasarkan aliran pikiran
a)    Demokrasi Konstitusional
Gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dapat bersikap sewenang-wenang karena dibatasi konstitusi. Ciri-ciri negara ini adalah :
i)      Adanya perlindungan konstitusional
ii)     Badan kehakiman bebas dan tidak memihak
iii)    Pemilu yang bebas
iv)   Kebebasan untuk menyatakan pendapat
v)    Kebebasan berserikat
vi)   Civic education
b)    Demokrasi yang pada hakekatnya beraliran komunis
Demokrasi yang cenderung mendasarkan pada ideologi komunis. Contohnya RRC dengan demokrasi rakyatnya, Uni soviet dengan demokrasi sentralisme.

3. Peran Negara sebagai Konsep Politik di Negara Demokrasi
Peran negara dalam negara demokrasi antara lain :
a.Kewibawaan pemerintah harus dimunculkan dalam kekuasaan negara
b.Menumbuhkan kebebasan yang sebesar-besarnya
c.Perlu membina ekonomi yang kuat
Menurut Van Vallen Hoven, peran negara antara lain :
a.Regelling (membuat peraturan)
b.Bestur (menyelenggarakan pemerintahan)
c.Rechstpraak (mengadili)
d.Politie (keamanan dan ketertiban)
              Negara juga harus membagi wilayah kekuasaannya dalam tiga dunia,yaitu :
a.    Dunia legislatif à yaitu berfungsi membuat UU
b.    Dunia eksekutif à yaitu berfungsi melaksanakan UU
c.    Dunia yudikatif/pengawas à mengawasi pelaksanaan dari UU


4.    Demokrasi Indonesia
Demokrasi di Indonesia biasanya disebut demokrasi Pancasila. Menurut seminar AD II tahun 1966 bulan Agustus, bahwa demokrasi pancasila berarti sesuai yang termaktub dalam UUD 1945 adalah menegakkan kembali asas-asas hukum dimana kepastian hukum dirasakan oleh segenap warga negara dimana HAM baik dalam aspek kolektif maupun aspek perseorangan dijamin dan dimana penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindari secara konstitusional. Menurut Hatta (melalui Ahmad Syafi’i Ma’arif, 1985) sumber demokrasi di Indonesia ada tiga, yaitu:
  1. Sosialisme barat yang membela prinsip-prinsip humanisme dan prinsip ini juga dipandang sebagai tujuan
  2. Ajaran Islam tentang kebenaran
  3. Pola hidup dalam kolektivisme sebagaimana terdapat di desa-desa di Indonesia.
Prinsip demokrasi Indonesia :
  1. Persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia
  2. Keseimbangan antara hak dan kewajiban
  3. Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri dan orang lain
  4. mewujudkan rasa keadilan sosial
  5. Pengambilan keputusan dengan musyawarah
  6. Mengutamakan persatuan dan kekeluargaan
  7. Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional

5.    Pelaksanaan negara sebagai konsep politik di Indonesia
Melihat pelaksanaan negara sebagai konsep politik di Indonesia apabila melihat pendapat Isjawara (1980 : 98), secara normatif peran negara sebagai konsep politik telah tercapai dimana memenuhi kriteria penduduk, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat. Dalam konsep demokrasinya pun secara normatif juga telah mengena dimana kekuasaan dibagi tiga, yaitu kekuasaan secara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Rakyat pun juga telah memiliki kebebasan yang luas, terbukti dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, tidak lagi dilakukan MPR, namun dilakukan sendiri oleh rakyat, anggota-anggota MPR pun juga dipilih sendiri oleh rakyat.
Tetapi pelaksanaan secara empirik tidak demikian sesuai aspek normatifnya. Tugas dari masing-masing badan legislatif, eksekutif, maupun yudikatif belum sepenuhnya tercapai maksimal karena kebanyakan orang yang duduk pada lembaga-lembaga tersebut tidak melaksanakan tugasnya tetapi malah memanfaatkan posisinya itu untuk memperoleh kekuasaan yang semakin banyak. Negara yang seharusnya menjadi tempat untuk mencapai kemakmuran rakyatnya justru dipakai sebagai ladang mata pencaharian atau untuk menambah kekayaan dan menigkatkan kehormatan mereka.
Dalam demokrasi di Indonesia juga memiliki banyak kelemahan, diantaranya terjadi jebakan demokrasi prosedural. Dalam penyaluran aspirasi suara rakyat (Pemilu) juga terjadi logika pasar parpol yang mana seharusnya rakyat sebagai pembeli bebas memilih parpol mana yang sesuai dengan nurani mereka, tetapi parpol sebagai penjual justru merayu dengan segala cara agar parpolnya terpilih. Begini keadaan Indonesia yang mana secara normatif, negara sebagai konsep politik sudah sangat sempurna, tetapi dalam pelaksanaannya atau empiriknya banyak yang menyimpang.













BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan

Pelaksanaan negara sebagai konsep politik ternyata memiliki arti yang luas, dapat dilihat dari pendapat tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, Max Weber, dan Hegel. Namun intinya mereka memandang negara sebagai organisasi yang bisa melakukan kekuasaan secara legal dengan kekerasan sekalipun kepada warga negaranya. Meskipun demikian, kekerasan yang dimaksud bukan kekerasan yang bersifat sewenang-wenang, tetapi dalam batas-batas yang wajar. Mengenai sifat negara dan prinsip negara secara normatif memang memiliki tujuan bagi kemakmuran rakyat, tetapi kenyataannya tergantung dari para pelaku politiknya ingin mencapai tujuan apa.
Mengenai keterkaitan negara sebagai konsep politik dalam demokrasi, mereka akan memberi kebebasan yang luas bagi warga negara untuk beraspirasi dan melaksanakan teori separation of power (pembagian kekuasaan) secara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Tetapi pelaksanaannya juga kembali lagi kepada para pelaku politiknya yang hanya memandang negara sebagai mata pencaharian semata untuk menambah kekuasaan.
Pelaksanaan konsep negara dari segi politik di Indonesia pun juga masih baik secara normatifnya saja, secara empirik belum tercapai. Yang harus dilakukan adalah memperbaiki watak, sifat, perilaku, behaviour dan action dari para pelaku politiknya, karena memang secara konsepnya, negara telah memiliki tujuan yang baik, hanya pelaksanaannya yang belum mengena.






Daftar Pustaka


·         http://setabasri.blogspot.com/
·         Alfian, 1986, Masalah dan prospek Pembangunan Politik Di Indonesia, Jakarta : Gramedia

No comments:

Post a Comment