Tuesday 28 January 2014

ARAH KEBIJAKAN FISKAL DALAM TINAJUAN TEORI


Pemerataan pembangunan ekonomi bagi bangsa Indonesia  sudah lama dinantikan serta diinginkan oleh rakyat Indonesia. Harapan dan cita-cita yang ingin dijadikan kenyataan tersebut dapat diimplementasikan melalui pembangunan ekonomi untuk dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Oleh karena itu dalam Pembangunan Nasional intinya adalah untuk kesejahteraan dan kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Sampai sekarang pembangunan ekonomi belum banyak tersentuh dalam pembangunan, sehingga perlu untuk ditingkatkan.

Pembahasan
Kebijakan Fiskal dalam Perspektif Teori. Penerimaan dan pengeluaran pemerintah diyakini dapat memberikan pengaruh terhadap kestabilan perekonomian suatu negara. Pengeluaran pemerintah yang terlalu besar dapat menyebabkan terjadinya defisit dalam APBN sehingga akan mempengaruhi variabel lainnya. Untuk menjaga kestabilan ekonomi maka penerimaan dan pengeluaran pemerintah perlu diseimbangkan. Maka timbulah gagasan untuk sengaja mengubah-ubah pengeluaran dan penerimaan pemerintah guna mencapai kestabilan ekonomi. Teknik mengubah pengeluaran dan penerimaan pemerintah inilah yang kita kenal dengan kebijakan fiskal (Santosa dan Lestari, 2008).
Pada awal sebelum terjadinya depresi ekonomi tahun 1930, pengeluaran pemerintah hanya dianggap sebagai alat untuk membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah dan dinilai berdasarkan manfaat langsung yang dapat ditimbulkannya tanpa melihat pengaruhnya terhadap pendapatan nasional. Demikian pula halnya dengan pajak. Pajak hanya dianggap sebagai sumber pembiayaan pengeluaran negara dan belum diketahui pengaruhnya terhadap pendapatan nasional. Akibatnya dalam masa depresi, di mana penerimaan pemerintah menurun, maka pengeluaran pemerintah harus dikurangi pula. Hal ini justru berakibat pada semakin rendahnya pendapatan nasional serta semakin lesunya perekonomian. Kalau timbul deflasi atau inflasi, kebijakan yang dipercayai untuk menanggulanginya adalah kebijakan moneter lewat Bank Sentral dan bukan kebijakan fiskal (Suparmoko, 2000).

Pengaruh Kebijakan Fiskal dari Sisi Permintaan.
Pengaruh kebijakan fiskal dari sisi permintaan ini lebih lanjut diklasifikasikan berdasarkan perspektif mainstream utama dalam teori ekonomi, yaitu Keynesian dan Non-Keynesian.

Pendekatan Keynesian.
Model Keynesian yang paling sederhana mengasumsikan adanya kekakuan harga (price rigidity) dan perekonomian mengalami kelebihan kapasitas (excess capacity), sehingga output ditentukan oleh permintaan agregat (aggregate demand). Dalam model ini, ekspansi fiskal mempunyai efek pengganda (multiplier effect) terhadap permintaan agregat dan output. Ekspansi fiskal mendorong peningkatan permintaan agregat melalui salah satu dari dua saluran, yaitu: Pertama, apabila pemerintah meningkatkan belanja dan penerimaan pajak diasumsikan tetap sama, maka permintaan agregat akan bertambah secara langsung. Kedua, apabila pemerintah mengurangi pajak (tax cuts) atau menaikkan transfer payments, maka pendapatan masyarakat yang dapat dibelanjakan (disposable income) akan bertambah, dan masyarakat cenderung menambah konsumsi. Peningkatan konsumsi yang peka (responsiveness) terhadap perubahan pendapatan ini mempengaruhi pengganda Keynesian dengan nilai lebih besar dari satu, dan dengan kecenderungan meningkat. Nilai pengganda Keynesian lebih besar untuk peningkatan belanja dibandingkan untuk pemotongan pajak.
Apabila peningkatan belanja diimbangi dengan peningkatan pajak, maka hasilnya adalah nilai pengganda anggaran berimbang (balanced budget multiplier) persis sama dengan satu. Sementara itu, dalam model Keynesian yang diperluas (model IS-LM standar) dikemukakan bahwa kebijakan fiskal juga dapat mengubah komposisi permintaan agregat. Apabila pemerintah menjalankan defisit anggaran, sejumlah pembiayaan akan dipenuhi dengan menerbitkan obligasi, sehingga pemerintah berkompetisi dengan sektor swasta untuk mendapatkan dana masyarakat. Hal ini akan mendorong naiknya suku bunga dan memungkinkan terjadinya "crowding out" investasi swasta.



Pendekatan Non-Keynesian.
Pendekatan ini berasal dari model Neo-klasik yang menyoroti kelemahan-kelemahan pendekatan Keynesian. Meskipun model Neo-klasik memberikanpenekanan pada efek kebijakan fiskal dari sisi penawaran (supply-side effects), namun ada beberapa karakteristik model ini yang memiliki implikasi terhadap permintaan. Menurut model Neo-klasik, apabila konsumen berorientasi ke masa depan dan sangat sadar tentang konstrain anggaran antarwaktu pemerintah (government's intertemporal budget constraint), maka konsumen beranggapan bahwa pemotongan pajak sekarang akan dibiayai melalui utang oleh pemerintah.
Akibatnya di masa yang akan datang pajak yang dikenakan lebih tinggi. Argumen ini dikenal dengan Ricardian equivalence. Dengan demikian, antara pajak dan utang memiliki Ricardian equivalence. Ricardian equivalence yang sempurna menunjukkan bahwa penurunan tabungan pemerintah akibat pemotongan pajak akan diimbangi dengan tabungan swasta yang lebih tinggi, dan permintaan agregat tidak terpengaruh. Pengganda fiskal dalam kasus ini adalah nol.
Fokus dalam Ricardian equivalence adalah pada efek pemotongan pajak lump-sum untuk arah belanja pemerintah tertentu. Dengan pajak proporsional atau progresif, pemotongan pajak akan mempengaruhi pendapatan permanen. Apabila ekspansi fiskal (peningkatan belanja pemerintah), maka dampaknya terhadap pendapatan permanen tergantung pada bagaimana ekspansi fiskal dibiayai dimasa yang akan datang. Peningkatan belanja pemerintah yang bersifat temporer tidak akan berpengaruh karena diimbangi dengan pemotongan belanja dimasa mendatang. Namun demikian, peningkatan belanja pemerintah yang dibiayai melalui pajak yang lebih tinggi dimasa mendatang akan menyebabkan penurunan pendapatan permanen dan konsumsi

Pengaruh Kebijakan Fiskal dari Sisi
Penawaran.
Selain pengaruhnya terhadap permintaan agregat dan tabungan, kebijakan fiskal juga mempengaruhi perekonomian melalui perubahan insentif. Pengenaan tarif pajak marjinal yang tinggi atas pendapatan berpotensi mengurangi insentif untuk menghasilkan pendapatan.
Para ekonom "supply-side" menyatakan bahwa pengurangan tarif pajak akan berpengaruh besar terhadap jumlah tenaga kerja yang ditawarkan, dan juga terhadap output. Pengaruh insentif terhadap pajak juga memainkan peranan pada sisi permintaan. Kebijakan kredit pajak

Interaksi Kebijakan Fiskal dan Moneter.
Keberadaan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter tidak dapat dipisahkan untuk mencapai target-target ekonomi yang telah ditetapkan. Perpaduan antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter sangat diperlukan untuk menetapkan dan mencapai target-target moneter dan defisit fiskal secara konsisten dalam rangka mencapai pembangunan ekonomi yang cukup tinggi dan stabil. Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan negara dan pengeluaran negara. Selain pengaruh dari selisih antara penerimaan dan pengeluaran (defisit atau surplus), perekonomian juga dipengaruhi oleh jenis sumber penerimaan Negara dan bentuk kegiatan yang dibiayai pengeluaran negara. Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara tersebut akan diperoleh besarnya surplus atau defisit APBN. Jika terdapat surplus dalam APBN akan menimbulkan efek kontraksi dalam perekonomian yang besarnya tergantung pada besarnya surplus tersebut. Pada umumnya surplus tersebut dapat digunakan sebagai cadangan atau membayar utang pemerintah (prepayment). Apabila terjadi defisit maka defisit tersebut dapat dibiayai dengan pinjaman luar negeri (official foreign borrowing) atau dengan pinjaman dalam negeri.
Pinjaman dalam negeri dapat diperoleh dalam bentuk pinjaman perbankan dan non perbankan yang mencakup penerbitan obligasi negara (government bonds) dan privatisasi (Usman, 2004). Defisit APBN berpotensi menimbulkan efek ekspansi dalam perekonomian. Jika defisit APBN dibiayai dengan pinjaman luar negeri maka hal ini tidak akan menimbulkan tekanan inflasi jika pinjaman tersebut digunakan untuk membeli barang-barang impor, namun jika pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barangdan jasa didalam negeri maka pembiayaan defisit dengan memakai pinjaman luar negeri akan menimbulkan tekanan inflasi. Di sisi lain, pembiayaan defisit APBN dengan penerbitan obligasi negara akan menambah jumlah uang beredar dan menimbulkan tekanan inflasi.
Sementara itu kebijakan moneter pada dasarnya digunakan untuk mencapai enam tujuan pokok yaitu menciptakan kesempatan kerja (high employment); menciptakan pertumbuhan ekonomi (economic growth); stabilisasi harga (price stability); stabilisasi tingkat bunga (interest rate stability); stabilisasi di pasar keuangan (stability of financial market) dan stabilisasi di pasar uang (stability in foreign exchange markets) (Mishkin, 1995). Kebijakan moneter juga dipakai untuk menjaga agar likuiditas dalam perekonomian berada dalam jumlah yang “tepat” sehingga dapat melancarkan transaksi perdagangan tanpa menimbulkan tekanan inflasi (Djojosubroto, 2004). Umumnya pelaksanaan pengaturan jumlah likuiditas dalam perekonomian ini dilakukan oleh Bank Sentral melalui berbagai instrumen .

Kesimpulan
Aplikasi kebijakan fiskal dan kebijakan moneter dalam perkembangannya melahirkan suatu bauran kebijakan (policy mix) yang kemudian menyebabkan berkembangnya kajian-kajian tentang koordinasi kebijakan fiskal dan moneter. Beberapa kajian tentang koordinasi kebijakan tersebut menemukan bahwa, dalam jangka panjang kebijakan fiskal dan moneter tidak bertentangan satu sama lain dalam mencapai pertumbuhan ekonomi. Pada kondisi ini tidak diperlukan adanya koordinasi kebijakan (Hagen dan Mundshenk,2003). Dalam jangka pendek, tidak adanya koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter akan menyebabkan efektivitas kebijakan menjadi berkurang (Giavazzi,2003).
Di Indonesia, dalam aktivitasnya kadangkala dua kebijakan ini (kebijakan moneter dan kebijakan fiskal) berjalan tanpa terkoordinasi dengan baik dan menimbulkan ketidak seimbangan dalam perekonomian. Contohnya antara lain adalah; hyperinflasi pada tahun 1965 yang disebabkan oleh ekspansi fiskal dan ekspansi moneter yang tidak terkendali, kesenjangan antara peran sektor pemerintah dan peran sektor swasta pada saat boom minyak pada era 1970-an, dan terakhir adalah kesenjangan antara pertumbuhan sektor riil dan sektor moneter pada kurun tahun 1980-an pasca liberalisasi sektor keuangan hingga pasca krisis moneter tahun 1997.

No comments:

Post a Comment