BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Ilmu
politik adalah salah satu ilmu tertua dari berbagai cabang ilmu yang ada. Sejak
orang mulai hidup bersama, masalah tentang pengaturan dan pengawasan dimulai.
Sejak itu para pemikir politik mulai membahas masalah-masalah yang menyangkut
batasan penerapan kekuasaan, hubungan antara yang memerintah serta yang
diperintah, serta sistem apa yang paling baik menjamin adanya pemenuhan
kebutuhan tentang pengaturan dan pengawasan.
Ilmu
politik diawali dengan baik pada masa Yunani Kuno, membuat peningkatan pada
masa Romawi, tidak terlalu berkembang di Zaman Pertengahan, sedikit berkembang
pada Zaman Renaissance dan Penerangan, membuat beberapa perkembangan
substansial pada abad 19, dan kemudian berkembang sangat pesat pada abad 20
karena ilmu politik mendapatkan karakteristik tersendiri. Ilmu politik sebagai
pemikiran mengenai Negara sudah dimulai pada tahun 450 S.M. seperti dalam karya
Herodotus, Plato, Aristoteles, dan lainnya. Di beberapa pusat kebudayaan Asia
seperti India dan Cina, telah terkumpul beberapa karya tulis bermutu.
Tulisan-tulisan dari India terkumpul dalam kesusasteraan Dharmasatra dan
Arthasastra, berasal kira-kira dari tahun 500 S.M. Di antara filsuf Cina
terkenal, ada Konfusius, Mencius, dan Shan Yang(±350 S.M.).
Di dalam konsep politik, negara mempunyai tugas yang
penting yaitu mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang timbul
dalam masyarakat dan bertentangan satu sama lain. Di samping itu, negara juga
mempunyai tugas untuk mengorganisasi dan mengintegrasi aktivitas induvidu atau
orang perorang dan golongan agar dapat dicapai tujuan-tujuan seperti apa yang
mereka cita-citakan. Bagian yang paling penting adalah pemilikan kekuasaan yang
sangat besar. Jadi negara memiliki monopoli kekerasan yang absah dan menjamin
pelaksanaan hukum di seluruh wilayah teritorialnya.
Partisipasi
politik masyarakat merupakan salah satu bentuk aktualisasi dari proses
demokratisasi. Keinginan ini menjadi sangat penting bagi masyarakat dalam
proses pembangunan politik bagi negara-negara berkembang, karena di dalamnya
ada hak dan kewajiban masyarakat yang dapat dilakukan salah satunya adalah
berlangsung dimana proses pemilihan kepala negara sampai dengan pemilihan
walikota dan bupati dilakukan secara langsung. Sistem ini membuka ruang dan
membawa masyarkat untuk terlibat langsung dalam proses tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka penulis akan memberikan batasan pembahasan dengan
poin – poin bahasan sebagai berikut :
1. Bahasan negara sebagai konsep politik.
2. Konsep politik yang ada di negara indonesia ( Demokrasi )
C.
Tujuan
penulisan makalah
Selain untu melengkapi
tugas mata kuliah , makalah ini di buat bertujuan
untuk memperkenalkan Ilmu Politik , dan
keberadaan negara sebagai konsep politik secara
menyeluruh dan memberikan pemahaman dasar-dasar ilmu politik serta berbagai
masalah yang erat kaitannya dengan ilmu tersebut serta untuk memahami ide-ide politik atau pemikiran
politik secara umum yang ada pada jaman klasik, jaman baru, sampai pada
pemikiran politik dewasa ini. Setiap pemikir politik dan ide pemikirannya
dikupas dan dihubungkan dengan pemikiran politik dewasa ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Negara sebagai Konsep Politik
1.
Pengertian Negara sebagai Konsep Politik
Di dalam konsep politik, negara mempunyai tugas yang
penting yaitu mengendalikan dan mengatur gejala-gejala kekuasaan yang timbul
dalam masyarakat dan bertentangan satu sama lain. Di samping itu, negara juga
mempunyai tugas untuk mengorganisasi dan mengintegrasi aktivitas induvidu atau
orang perorang dan golongan agar dapat dicapai tujuan-tujuan seperti apa yang
mereka cita-citakan. Bagian yang paling penting adalah pemilikan kekuasaan yang
sangat besar. Jadi negara memiliki monopoli kekerasan yang absah dan menjamin
pelaksanaan hukum di seluruh wilayah teritorialnya.
Beberapa pandangan tentang negara sebagai konsep politik
dikemukakan oleh Arif Budiman (melalui Cholisin, 2007 : 57-58) sesuai pendapat
para ahli yaitu Plato, Aristoteles, Max Weber, dan Hegel. Menurut Plato,
kekuasaan yang besar pada negara merupakan hal yang sepatutnya. Individu akan
menjadi liar, tidak dapat dikendalikan, bila negara tidak memiliki kekuasaan
yang besar. Negara harus menjinakkan mereka dan mengajarkan nilai-nilai moral
dan rasional. Menurut Aristoteles, negara itu juga menguasai manusia,
keseluruhan selalu menentukan bagian-bagiannya. Jadi disini tampak pula
penglihatan yang universal dan bukan individualistis, dimana manusia pertama
itu tidak dipandang sebagaimanusia pribadi, melainkan sebagai warga suatu
negara.
Sedangkan Weber, menyatakan negara yang merupakan
satu-satunya lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindakan kekerasan
terhadap warganya. Hegel mendukung pemberian kekuasaan yang besar kepada
negara. Ia berpendapat bahwa negara modern memiliki hak untuk memaksakan
keinginannya kepada warganya Karena negara mewakili umum, ia menjadi
menifestasi dari sesuatu yang ideal dan universal. Dengan mematuhi negara,
individu yang menjadi warga negara tersebut sedang dibebaskan dari kepicikannya
yang hanya memperjuangjkan kepentingan dirinya yang sempit.
Pendapat lain dikemukakan oleh Karl Marx bahwa yang
menyatakan negara adalah sistem dominasi politik yang abstrak,irasional yang
hanya menolak hakikat sosial manusia dan mengasingkannya dari keterlibatan
murni dalam kehidupan orang banyak. Bahkan elite negara merupakan representasi
kepentingan pribadi. Dengan kata lain,Marx memandang negara lebih merupakan
instrumen kekuasaan kelas. Negara lebih menekankan aspek penggunaan kekuatan
terorganisasi untuk memecahkan kontradiksi-kontradiksi kelas di dalam suatu
masyarakat.
Negara sebagai konsep politik telah terwujud apabila
telah dipenuhinya 3 unsur konstitutif sebagai kesatuan politik yaitu
penduduk,wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat.(Isjawara,1980:98). Negara
yang telah memiliki ketiga unsur konstitutif tersebut dipandang sebagai
kesatuan politik yang konkret,sebagaimana negara itu terjelma dalam sejarah
sebaga asosiasi manusia.Jadi bukan negara sebagai idea,tetapi terlepas dari
kenyataan sosialnya.
2.
Sifat Sifat Negara
Negara mempunyai sifat-sifat khusus yang merupakan
manifestasi dari kedaulatan yang dimilikinya dan hanya terdapat pada negara
saja dan tidak terdapat pada asosiasi atau organisasi lainnya.Umumnya,dianggap
bahwa setiap negara mempunyai sifat memaksa,sifat memonopoli, dan mencakup
semua.
a. Sifat Memaksa
Agar peraturan perundang-undangan ditaati dan penertiban
dalam masyarakat tercapai serta timbulnya anarki dapat dicegah,maka negara memiliki
sifat memaksa dalam arti mempunyai kekuasaan untuk memakai kekerasan fisik
secara legal. Sarana untuk mencapai itu adalah polisi,tentara, dan sebagainya.
Organisasi dan asosiasi yang lain dari negara juga mempunyai aturan,akan tetapi
aturan yang dikeluarkan oleh negara lebih mengikat.
Di dalam masyarakat homogen,dan didujung adanya konsensus
nasional yang kuat mengenai tujuan-tujuan bersama,biasanya sifat paksaan ini
akan lebih tampak.Dalam hal demikian,di negara-negara demokratis tetap disadari
bahwa paksaan hendaknya dipakai seminimal mungkin dan sedapat-dapatnya dipakai
persuasi(meyakinkan). Lagipula pemakaian paksaan secara ketat selain memerlukan
organisasi yang ketat juga memerlukan biaya yang tinggi.
Unsur paksa dapat dilihat misalnya pada ketentuan tentang
pajak. Setiap warga negara harus membayar pajak dan orang yang menghindari
kewajiban ini akan dikenai sanksi,disita miliknya,didenda, atau di beberapa
negara malah dikenai hukuman kurungan.
b. Sifat Memonopoli
Negara mempunyai monopoli dalam menetapkan tujuan bersama
dari masyarakat. Dalam rangka ini negara dapat menyatajan bahwa suatu aliran
kepercayaan atau aliran politik tertentu dilarang hidup dan disebarluaskan,oleh
karena itu dianggap bertentangan dengan tujuan-tujuan masyarakat.
c. Sifat Mencakup Semua (all-encompasssing, all-embracing)
Semua peraturan perundang-undangan (misalnya keharusan
membayar pajak) berlaku untuk semua orang tanpa kecuali. Keadaan demikian
memang perlu,sebab kalau seseorang dibiarkan berada di luar lingkup aktivitas negara,maka
usaha nagara ke arah tercapainya masyarakat yang dicita-citakan ajan gagal.
Lagipula menjadi warga negara tidak berdasarkan kemauan sendiri (involuntary membership) dan hal ini
berbeda dengan asosiasi lain di mana keanggotaan bersifat sukarela.
3.
Peran Negara
Rockman (Rusli Karim, 1997 : 22) mengajukan tiga konsepsi
tentang peran negara yaitu satu sistem pembuatan kebijakan otoritatif (decision making state), pemberi barang
kolektif dan distribusi (production state)
dan penyimpan, pencipta dan perantara kepentingan masyarakat (intermediary state). Khusus untuk
reproduksi politik, Gana mengajukan tiga fungsi negara (Rusli Karim, 1997 : 26)
yaitu :
a. Bertindak sebagai penengah dalam perbedaan-perbedaan
politik antara kepentingan-kepentingan nasional yang bersintesis dan
kepentingan borjuis asing dan negara mereka
b. Penjamin kohesi struktur sosial yang selalu terancam oleh
dinamikanya sendiri.
c. Bertindak sebagai penengah dalam perbedaan politik antara
birokrasi negara yang tumbuh dan kelas-kelas yang lain.
Luas sempitnya peranan negara tergantung dari perspektif
yang digunakan. Menurut perspektif statis (serba negara), negara adalah
struktur dominan di seluruh dunia. Oleh karena itu, peran negara memiliki
kekuasaan yang sangat luas dan menciptakan kegiatan yang luas. Sebaliknya,
menurut perspektif sosial, kekuasaan negara tidak begitu luas, karena
terbagi-bagi dan tidak kohesif, terdesentralisasi, dan pluralistik.
Kemudian jika dilihat dari perspektif negara akan
berpihak kepada kepentingan siapa, ada beberapa teori yang dapat digunakan
untuk menjelaskan peran negara. Teori-teori tersebut antara lain teori Marxis
(negara sebagai alat khas yang dominan), teori Pluralis (negara alat semua
kelompok), teori Organis (negara sebagai lembaga di atas masyarakat) dan teori
elit kekuasaan.
a.
Teori Marxis
Negara hanya merupakan sebuah panitia yang mengelola
kepentingan kaum borjuis. ini berarti negara sebenarnya tidak memiliki
kekuasaan nyata. Kekuasaan nyata ada pada kelompok atau kelas yang dominan
dalam masyarakat tersebut. Kelompok ini adalah kaum borjuis dalam sistem
kapitalis, kaum bangsawan dalam sistem feodal, kaum buruh dalam sosialis.
Negara sekedar alat dari kelas-kelas tersebut.
Ralf Dahrendorf (dalam Margaret M. Paloma 1994 : 133-135)
yang merupakan salah satu tokoh teori konflik Non Marxian, mengkritik pendapat Marx tersebut. Menurut Dahrendorf,
bahwa kaum borjuis dalam masyarakat kapitalis dewasa ini tidak lagi menjadi
kelompok dominan. Sebab sebagai akibat perubahan sosial, telah terjadi proses
dekomposisi modal dan tenaga kerja. Dekomposisi ini melahirkan apa yang dikenal
dengan kelas menengah dan hal ini tidak pernah diperkirakan oleh Marx.
Selanjutnya, Dahrendorf mengatakan bahwa ada dasar baru
bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi
Marx sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf, hubungan-hubungan
kekuasaan (authority) yang menyangkut
bawahan dan atasan menyediakan unsur-unsur bagi kelahiran kelas.
Dengan demikian, pada dasarnya tetap terdapat dua sistem
kelas sosial (dalam perkumpulan khusus) yaitu meraka yang berperan serta dalam
struktur kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang berpartisipasi melalui
penundukan.
Secara demikian, perjuangan kelas yang dibahas Dahrendorf
lebih berdasarkan kekuasaan daripada pemilihan sarana-sarana produksi. Dalam
mesyarakat industri modern, pemilihan sarana produksi tidak sepenting mereka
yang melaksanakan pengendalian atas sarana itu.
b.
Teori Pluralis
Dalam pandangan teori pluralis, negara merupakan alat
dari masyarakat. Inilah kekuatan eksternal yang mengatur negara. Menurut kaum
pluralis, dalam masyarakat ada banyak kelompok yang berbeda kepentingannya.
Tidak ada kelompok yang terlalu dominan. Untuk menjadi mayoritas, kepentingan
yang beragam ini melakukan kompromi.
Arif Budiman (1997) dalam konteks teori pluralis
memberikan contoh sebagai berikut. Misalnya, kaum pengusaha menginginkan pajak
yang ringan. Sedangkan kaum pekerja menginginkan pajak yang tinggi bagi orang
yang kaya, supaya negara bisa membiayai proyek-proyek sosialnya. Kemudian ada
lagi kelompok imigran yang menginginkan supaya proyek-proyek sosial bisa
membantu mereka juga. Semua kepentingan itu harus dikompromikan. Politikus yang
bisa membuat formula dimana kepentingan sebagian besar masyarakat terpenuhi, dialah
yang akan mendapat kepercyaan untuk memimpin negara. Dialah yang menjadi
dominan, karena bisa mengkompromikan berbagai kepentingan kelompok yang ada di
masyarakat.
c.
Teori Organis
Teori organis bersumber pada pandangan Hegel yang
menyatakan bahwa negara bukan merupakan alat dari masyarakatnya. Negara
merupakan alat bagi dirinya sendiri. Negara mempunyai misinya sendiri yakni
misi sejarah untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik daripada yang ada
sekarang. Karena itulah, negara harus dipatuhi oleh warganya, bukan sebaliknya.
Negara tahu apa yang baik bagi masyarakat secara keseluruhan. Pandangan ini
merupakan dasar bagi terbentuknya negara yang kuat yang bersifat otoriter
bahkan totaliter.
d.
Teori Elit Kekuasaan
Menurut C. Right Mills (Paloma, 1994 : 324) melihat elit
kekuasaan sebagai suatu kelas sosial dari orang-orang yang memiliki asal usul
dan pendidikan yang sama yang memiliki dasar-dasar sosial dan psikologis yang
menyatukan mereka atas kenyataan bahwa mereka adalah tipe sosial yang serupa dan
menjurus pada fakta kemudian yang berbaur.
Pandangan Mills dikembangkan dalam Teori Elit Kekuasaan.
Teori ini pada dasarnya mengatakan bahwa meskipun masyarakat terdiri dari
bermacam-macam kelompok yang pluralis, tetapi kenyataannya kelompok elite penguasa
datag hanya dari kelompok masyarakat tertentu. Secara umum, semua orang memang
bisa menempati jabatan negara, jabatan militer, atau posisi bisnis kelas.
Tetapi dalam kenyataan, jabatan-jabatan itu diduduki oleh orang-orang dari
kelompok tertentu tersebut.
Akan tetapi, terlepas dari keempat fungsi teori yang ada,
negara memiliki fungsi:
a. Melaksanakan ketertiban (law and order) untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah
bentrokan-bentrokan dalam masyarakat, maka negara harus melaksanakan
penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai ”stabilisator”.
b. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.
c. Pertahanan untuk menjaga kemungkinan serangan dari luar.
d. Menegakkan keadilan.
Menurut Charles E. Merrian\m, 5 fungsi negara yaitu :
a. Keamanan ekstern
b. Ketertiban intern
c. Keadilan
d. Kesejahteraan umum
e. Kebebasan.
4.
Legitimasi Kekuasaan Negara
Secara ideal, negara mestinya berpihak kepada kepentingan
rakyat, tetapi kenyataanya justru lebih berpihak pada kelompok yang dominan.
Upaya untuk memperoleh legitimasi kekuasaan lewat kekuasaan militer, hanya
bersifat jangka pendek. Juga tidak menguntungkan karena rakyat menjadi takut
yang membuat kondisi negara menjadi tidak sehat, Menurut teori kekuasaan hegemonic, rakyat akan menerima dominasi
kelompok tertentu jika mampu mengartikulasikan kepentingan borjuisi sebagai
kepentingan umum.
Teori Legitimasi :
a) Teori Pembenaran
1. Teori teokrasi
1) Teokrasi langsung àorang yang berkuasa
dipandang sebagai Tuhan.
2) Teokrasi tidak langsung à orang yang berkuasa mempunya kekuasaan karena mendapat izin Tuhan.
b)
Teori kekuasaan
Bahwa
dasar kekuasaan itu meliputi keunggulan fisik, materi, dan rohani.
c)
Teori hukum
1) Teori kekeluargaan
2) Teori kebendaan
3) Teori dualistis
d) Teori Kedaulatan
1. Teori Kedaulatan Tuhan
Kekuasaan tertinggi terletak di tangan Tuhan. Penganutnya
antara lain Agustinus, Thomas Aquinas, dan Marsillius.
2. Teori Kedaulatan Negara
Menyatakan bahwa raja merasa tidak bertanggung jawab
kepada siapapun selain kepada Tuhan. Akibatnya kekuasaan mutlak untuk
menetapkan agama bagi warga negara ada pada negara.
3. Teori Kedaulatan Hukum
Dipelopori oleh Krabe yang berpendapat bahwa kekuasaan
tertinggi terletak pada hukum yang tidak berpribadi, artinya sumber hukum itu
berasal dari rasa hukum yang terdapat dalam setiap individu.
4. Teori Kedaulatan Raja
Mengajarkan bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi ada
pada raja.
5. Teori Kedaulatan Rakyat
Mengajarkan bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi ada
pada rakyat.
B.
Demokrasi
1. Konsep Demokrasi
Joseph Schumpeter (George Sorenson, 2003 dan Hasnan
Habib, 1997 : 22) mengartikan demokrasi sebagai kompetisi untuk memperoleh
suara rakyat. Robert Dahl (Ramlan Surbakti, 1996 : 10) mengajukan konsep
”demokrasi polyarchi”. Konsep
demokrasi polyarchi melibatkan dua
dimensi yaitu perlombaan dan peran serta. Prosedur macam ini mengasumsikan
adanya kebebasan bicara, berpendapat, berkumpul, dan berserikat sehingga pemilu
dapat diselenggarakan.
Ciri-ciri kekuasaan dalam demokrasi (Hasnan, 1997 :
24-27)
1. Kekuasaan berada pada pejabat yang terpilih.
2. Kekuasaan eksekutif dibatasi konstitusi dan bertanggung
jawab kepada lembaga pemerintah yang lain.
3. Hasil pemilu tidak ditentukan sebelumnya, pihak oposisi
harus memiliki peluang untuk menang.
4. Pluralisme diakui dan tidak boleh dilarang.
5. Adanya sumber-sumber alternatif informasi seperti media
pers yang bebas.
6. Perorangan memiliki kebebasan yang substansial mengenai
kepercayaan, pendapat, berdiskusi, berbicara, publikasi, berkumpul, dan
demonstrasi.
7. Adanya persamaan hukum bagi warga negara.
8. Rule of law melindungi warga negara dari
kesewenag-wenangan.
Prinsip demokrasi menurut pandangan Lyman Tower Sargent
(1986 : 43) terdapat unsur-unsur (prinsip-prinsip) demokrasi yaitu :
- Keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik.
- Tingkat persamaan tertentu diantara warga negaranya.
- Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai oleh para warga negaranya.
- Suaatu sistem perwakilan.
- Suatu sistem pemilihan kekuasaan mayoritas.
Menurut Dahl (Sorenson, 2003) terdapat tiga prinsip
demokrasi yakni :
- Kompetisi
Yakni kompetisi yang luas dan bermakna diantara individu
dan kelompok organisasi (khususnya partai) pada seluruh kekuasaan pemerintah
yang efektif dalam jangka waktu yang teratur danmeniadakan kekerasan.,
- Partisipasi
Yakni tingkat partisipasi yang inklusif dalam pemilihan
pemimpin dan kebijakan, paling tidak melalui pemilihan yang bebas dan teratur,
tidak ada kelompok sosial (dewasa) utama yang disingkirkan.
- Kebebasan politik dan sipil
Meliputi kebebasan berpendapat, kebebasan pers,
mendirikan dan menjadi anggota organisasi yang cukup untuk memastikan integrasi
partisipasi dan kompetisi politik.
Prinsip demokrasi secara umum adalah :
a.
Persamaan
1. Persamaan politik (political
equality)
Yakni hak yang sama bagi semua warga negara untuk
berpartisipasi dalam segala urusan negara. Contohnya hak suara.
Persamaan hak suara menuntuk hak-hak sebagai berikut :
a) Setiap individu harus memiliki akses yangmudah dan pantas
ke TPS.
b) Setiap individu bebas menentukan peilihan sesuai
keinginannya
c) Setiap suara harus dinilai sama pada saat perhitungan
2. Persamaan di muka hukum
Maksudnya setiap warga negara sama di hadapan hukum dan
haknya diberikan tanpa diskriminasi untuk mendapatkan perlindunganhukum yang
sama.
3. Persamaan kesempatan
Hal ini terkait dengan stratifikasi sosial dan sistem
mobilitas yang berprinsip :
a) Tiap individu dalam masyarakat dapat mengalami penurunan
ata peningkatan dalam sistem kelas.
b) Tidak ada halangan yang akan membatasi seseorang untuk
mencapai kemampuan yang ingin diraihnya.
4. Persamaan ekonomi
Tiap individu dalam masyarakat harus memiliki jaminan
ekonomi karena tanpa hal tersebut, demokrasi akan sulit dicapai.
5. Persamaan sosial
Hal ini mengacu pada tidak adanya perbedaan status kelas
yang telah dan masih dikenal diseluruh masyarakat.
b.
Kebebasan
Mengacu pada kemampuan bertindak tanpa
pembatasan-pembatasan atau dengan pengekangan yang terbatas pada cara-cara
khusus. Kebebasan cenderung mengacu pada hak yaitu kebebasan yang mendapat jaminan
hukum.
Mengenai demokrasi, Aristoteles dalam buku Politics (340)
menyatakan : ”Jika kebebasan dan kesamaan sebagaimana menurut pendapat sebagian
orang dapat diperoleh terutama dalam demokrasi, maka kebebasan dan kesamaan itu
akan dapat dicapai apabila semua orang tanpa kecuali ikut ambil bagian
sepenuhnya dalam pemerintahan.
Menurut Meriam Budiharjo, ada beberapa istilah mengenai
demokrasi. Ada demokrasi konstitusionil, parlementer, terpimpin, pancasila,
rakyat, dan sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah demokrasi yang menurut
asal kata berarti rakyat berkuasa (demos berarti rakyat dan kratos/kratein
berarti kekuasaan/berkuasa). Menurut UNESCO demokrasi adalah nama paling baik
dan wajar untuk semua sistem politik dan sosial yang diperjuangkan oleh
pendukung yang berpengaruh. Tetapi UNESCO juga menarik kesimpulan bahwa ide
demokrasi dianggap ambigu atau berarti dua yaitu mengenai lembaga-lembaga atau
cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan ide atau mengenai keadaan kultural
serta historis yang mempengaruhi istilah, ide, dan praktik demokrasi.
2.
Varian Demokrasi
1. Penggolongan demokrasi atas dasar bidang kehidupan
a) Demokrasi politik
Menurut
Dahl, sifat dasar demokrasi ada pada responsifitas pemrintah terhadap
preferensi warga negaranya yang setara secara politis. Menurut Henry B. Maya,
sistem politik yang demokratis ialah dimana kebijakan umum ditemtukan atas
dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi oleh rakyat dalam
pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan
diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Menurut Jurnal
Ilmu Politik, demokrasi selalu merupakan gerakan politik yang dilahirkan oleh
kekuatan kelas dan kekuatan sosial yang memperjuangkan tujuan-tujuan khusus.
Menurut
Koentjoro Poerbopranoto, dalam bukunya Sistem Pemerintahan Demokrasi,
menyatakan demokrasi adalah suatu pemerintahan negara dimana dalam pokoknya
semua orang (rakyat) adalah berhak sama untuk memerintah dan juga untuk
diperintah. Duvenger menyatakan demokrasi adalah cara pemerintah dimana
golongan yang memerintah dan yang diperintah itu terpisah-pisah. Schumpeter
menyatakan bahwa sistem demokrasi ini pada asasnya ialah mencapai suatu
keputusan hal keprajaan, dengan memilih suatu badan perwakilan rakyat agar
dengan jalan ini masyarakat menentukan kehendak rakyat.
O
Donnel (1971) menyatakan demokrasi menekankan pentingnya kedudukan warga negara
dalam kaitannya dengan tanggung jawab urusan negara. Herbeth Feith melihat
tuntutan prinsip demokrasi sebagai kebebasan warga negara dan hak-haknya dalam
kehidupan bernegara. Dahl justru mengatakan bahwa definisi demokrasi yang
menekankan toleransi penguasa pada partai oposisi. Diamond, Lipset, dan
Schumpeter mengatakan agar definisi demokrasi lebih dipersempit dengan
memisahkan dimensi politik dari dimensi sosial ekonomi.
Varma
menyatakan bahwa demokrasi memiliki arti klasik dan elitis. Demokrasi klasik
adalah suatu proses yang berkesinambungan dimana hak-hak politik dan kekuatan
untuk mempengaruhi keputusan atas kebijakan sosial secara progresif diperluas
pada kelompok-kelompok penduduk tertindas. Demokrasi elitis adalah penciptaan
iklim psikologis yang kurang lebih dapat secara spontan memotivasi perubahan
dan kemajuan. Demokrasi politik merupakan demokrasi primer, dan itulah mengapa
demokrasi pertama dan terutama adalah demokrasi politk.
b) Demokrasi Ekonomi
Merupakan
demokrasi yang tujuan kebijakan primernya adalah pembagian kembali kekayaan dan
pemerataan kesempatan ekonomi. Dalam arti ini mengandalkan demokrasi politik
sebagai umpan balik terakhir suatu bentuk demokrasi pemerintahan.
c) Demokrasi Sosial
Demokrasi
ini merupakan suatu keadaan dan gaya masyarakat yang endogen atau persamaan
perlakuan dan hormat terhadap setiap orang. Ciri-ciri demokrasi rakyat adalah
i)
Dictatorship of a majority over a minority
ii) Titik berat pada kemajuan ekonomi dan sosial, kerena itu
juga disebut demokrasi sosial.
Demokrasi barat memiliki
ciri :
i) Bersifat liberal
ii) Dictatorship of a
majority over a minority (demokrasi borjuis)
d) Demokrasi Sosial
Demokrasi
industrial merupakan demokrasi dalam pabrik-pabrik. Dalam praktik cita-cita
demokrasi industrial hanya terwujud pada tingkat mikro sejumlah rencana
mengenai partisipasi buruh dalam manajemen.
2. Penggolongan
demokrasi berdasarkan jaminan kebebasan dan persamaan
a)
Madison Democracy
Tujuannya adalah republik yang bebas, tokohnya
Montesquieu
b)
Populistic Democracy
Diidentikkan dengan
persamaan politik, kedaulatan rakyat, dan pemerintahan oleh mayoritas. Tokohnya
J.J. Rosseau dan Jefferson.
c) Demokrasi Poliarkis
Adanya peraturan suara
terbanyak dan toleransi terhadap minoritas
3. Demokrasi Langsung
dan Perwakilan
a) Demokrasi Langsung
Demokrasi ini hanya
hanya dikenal oleh negara-negara berbentuk polis dimana partisipasi warga
negara secara langsung. Ciri-cirinya adalah pertisipasi warga negara dilakukan
secara langsung tanpa perwakilan/delegasi kekuasaan seperti negara-negara
modern sekarang.
b) Demokrasi Perwakilan
Terdapat adanya partai
dan fungsi yang perlu adanya kontrol dan tanggung jawab agar pelaksanaannya
dapat efektif
4. Penggolongan
berdasarkan aliran pikiran
a) Demokrasi Konstitusional
Gagasan
bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya
dan tidak dapat bersikap sewenang-wenang karena dibatasi konstitusi. Ciri-ciri
negara ini adalah :
i) Adanya perlindungan konstitusional
ii) Badan kehakiman bebas dan tidak memihak
iii) Pemilu yang bebas
iv) Kebebasan untuk menyatakan pendapat
v) Kebebasan berserikat
vi) Civic education
b) Demokrasi yang pada hakekatnya beraliran komunis
Demokrasi
yang cenderung mendasarkan pada ideologi komunis. Contohnya RRC dengan
demokrasi rakyatnya, Uni soviet dengan demokrasi sentralisme.
3. Peran Negara sebagai Konsep Politik di Negara
Demokrasi
Peran negara dalam
negara demokrasi antara lain :
a.Kewibawaan pemerintah harus dimunculkan dalam kekuasaan
negara
b.Menumbuhkan kebebasan yang sebesar-besarnya
c.Perlu membina ekonomi yang kuat
Menurut Van Vallen
Hoven, peran negara antara lain :
a.Regelling (membuat peraturan)
b.Bestur (menyelenggarakan pemerintahan)
c.Rechstpraak (mengadili)
d.Politie (keamanan dan ketertiban)
Negara
juga harus membagi wilayah kekuasaannya dalam tiga dunia,yaitu :
a. Dunia legislatif à yaitu berfungsi membuat
UU
b. Dunia eksekutif à yaitu berfungsi
melaksanakan UU
c. Dunia yudikatif/pengawas à mengawasi pelaksanaan dari UU
4.
Demokrasi Indonesia
Demokrasi di Indonesia
biasanya disebut demokrasi Pancasila. Menurut seminar AD II tahun 1966 bulan
Agustus, bahwa demokrasi pancasila berarti sesuai yang termaktub dalam UUD 1945
adalah menegakkan kembali asas-asas hukum dimana kepastian hukum dirasakan oleh
segenap warga negara dimana HAM baik dalam aspek kolektif maupun aspek
perseorangan dijamin dan dimana penyalahgunaan kekuasaan dapat dihindari secara
konstitusional. Menurut Hatta (melalui Ahmad Syafi’i Ma’arif, 1985) sumber
demokrasi di Indonesia ada tiga, yaitu:
- Sosialisme barat yang membela prinsip-prinsip humanisme dan prinsip ini juga dipandang sebagai tujuan
- Ajaran Islam tentang kebenaran
- Pola hidup dalam kolektivisme sebagaimana terdapat di desa-desa di Indonesia.
Prinsip demokrasi
Indonesia :
- Persamaan bagi seluruh rakyat Indonesia
- Keseimbangan antara hak dan kewajiban
- Pelaksanaan kebebasan yang bertanggung jawab secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri dan orang lain
- mewujudkan rasa keadilan sosial
- Pengambilan keputusan dengan musyawarah
- Mengutamakan persatuan dan kekeluargaan
- Menjunjung tinggi tujuan dan cita-cita nasional
5.
Pelaksanaan negara sebagai konsep politik di Indonesia
Melihat pelaksanaan negara sebagai konsep politik di
Indonesia apabila melihat pendapat Isjawara (1980 : 98), secara normatif peran
negara sebagai konsep politik telah tercapai dimana memenuhi kriteria penduduk,
wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat. Dalam konsep demokrasinya pun secara
normatif juga telah mengena dimana kekuasaan dibagi tiga, yaitu kekuasaan
secara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Rakyat pun juga telah memiliki
kebebasan yang luas, terbukti dalam pemilihan presiden dan wakil presiden,
tidak lagi dilakukan MPR, namun dilakukan sendiri oleh rakyat, anggota-anggota
MPR pun juga dipilih sendiri oleh rakyat.
Tetapi pelaksanaan secara empirik tidak demikian sesuai
aspek normatifnya. Tugas dari masing-masing badan legislatif, eksekutif, maupun
yudikatif belum sepenuhnya tercapai maksimal karena kebanyakan orang yang duduk
pada lembaga-lembaga tersebut tidak melaksanakan tugasnya tetapi malah
memanfaatkan posisinya itu untuk memperoleh kekuasaan yang semakin banyak.
Negara yang seharusnya menjadi tempat untuk mencapai kemakmuran rakyatnya
justru dipakai sebagai ladang mata pencaharian atau untuk menambah kekayaan dan
menigkatkan kehormatan mereka.
Dalam demokrasi di Indonesia juga memiliki banyak
kelemahan, diantaranya terjadi jebakan
demokrasi prosedural. Dalam penyaluran aspirasi suara rakyat (Pemilu) juga
terjadi logika pasar parpol yang
mana seharusnya rakyat sebagai pembeli bebas memilih parpol mana yang sesuai
dengan nurani mereka, tetapi parpol sebagai penjual justru merayu dengan segala
cara agar parpolnya terpilih. Begini keadaan Indonesia yang mana secara
normatif, negara sebagai konsep politik sudah sangat sempurna, tetapi dalam
pelaksanaannya atau empiriknya banyak yang menyimpang.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pelaksanaan negara sebagai konsep politik ternyata
memiliki arti yang luas, dapat dilihat dari pendapat tokoh-tokoh seperti Plato,
Aristoteles, Max Weber, dan Hegel. Namun intinya mereka memandang negara
sebagai organisasi yang bisa melakukan kekuasaan secara legal dengan kekerasan
sekalipun kepada warga negaranya. Meskipun demikian, kekerasan yang dimaksud
bukan kekerasan yang bersifat sewenang-wenang, tetapi dalam batas-batas yang
wajar. Mengenai sifat negara dan prinsip negara secara normatif memang memiliki
tujuan bagi kemakmuran rakyat, tetapi kenyataannya tergantung dari para pelaku
politiknya ingin mencapai tujuan apa.
Mengenai keterkaitan negara sebagai konsep politik dalam
demokrasi, mereka akan memberi kebebasan yang luas bagi warga negara untuk
beraspirasi dan melaksanakan teori separation
of power (pembagian kekuasaan) secara eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Tetapi pelaksanaannya juga kembali lagi kepada para pelaku politiknya yang
hanya memandang negara sebagai mata pencaharian semata untuk menambah
kekuasaan.
Pelaksanaan konsep negara dari segi politik di Indonesia
pun juga masih baik secara normatifnya saja, secara empirik belum tercapai.
Yang harus dilakukan adalah memperbaiki watak, sifat, perilaku, behaviour dan action dari para pelaku politiknya, karena memang secara konsepnya,
negara telah memiliki tujuan yang baik, hanya pelaksanaannya yang belum
mengena.
Daftar Pustaka
·
Alfian, 1986, Masalah dan
prospek Pembangunan Politik Di Indonesia, Jakarta : Gramedia
No comments:
Post a Comment